Jakarta (ANTARA) - Pola makan manusia dapat mengubah hukum pasar karenanya pilihan makanan seseorang akan sangat menentukan masa depan Bumi, kata Deputy Director Social Development WWF-Indonesia Cristina Eghenter.

"Semua tentu berawal dari permintaan. Namun hukum pasar bisa kita pengaruhi agar lingkungan menjadi lebih lestari," kata Cristina di sesi virtual Ngobrol Pintar Pangan Bijak Nusantara yang mengangkat tema Mengenal Ketahanan Pangan Melalui Prinsip Pangan Bijak Nusantara diakses di Jakarta, Sabtu.

Ia mengatakan saat ini sistem pangan yang diadopsi Indonesia adalah sistem pangan industri, di mana alam dikonversi untuk produksi sebesar-besarnya, menggunakan tanaman tunggal (monocropping), penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar, menghasilkan produktivitas tinggi namun hanya dalam jangka pendek.

PBB, ujar Cristina, sudah memperhitungkan, jika sistem pangan industri tetap dipertahankan maka sisa kesuburan tanah untuk menyokong produksi pangan dunia guna mencukupi sandang lebih dari 7,8 miliar penduduk Bumi hanya akan bertahan hingga 60 tahun ke depan saja.

Masyarakat mengetahui Indonesia sebagai salah satu negara dengan mega biodiversity di dunia, namun tidak sadar hanya sekitar 17 sampai dengan 20 jenis sayur yang ditanam di kebun, dan hanya tiga sampai dengan empat jenis padi ditanam di satu ladang.

Publikasi Eat-Lancet menyebutkan 75 persen pangan di dunia hanya berasal dari 12 spesies tanaman dan lima spesies hewan.

Karena itu, menurut dia, sistem pangan yang digunakan saat ini perlu diubah ke arah yang lebih lokal, lestari, sehat dan adil. Sistem pangan tradisional atau yang saat ini justru dikenal sebagai agro-ekologi menjadi kekuatan baru untuk proses pemenuhan pangan secara berkelanjutan dan berkeadilan demi masa depan.

Prinsip-prinsip Pangan Bijak Nusantara bertujuan mendukung pangan lokal, karena diyakini keberagaman sumber pangan akan menjamin ketahanan dan kedaulatan pangan di tingkat lokal. Berbagai varietas benih pangan lokal yang sesuai tradisi dan budaya lokal adalah juga sumber nutrisi yang baik.

Selain itu masyarakat perlu memilih pangan yang sehat, karena sistem pangan yang sehat juga menjamin kesuburan tanah dan mengurangi unsur kimia.

Menurut dia, pangan yang sehat bagi manusia adalah yang bersih, alami, higienis dan bermutu tinggi, sehingga tentu memberikan kesehatan dan nutrisi yang baik.

Baca juga: Mentan sebut pandemi refleksikan peran petani sebagai pahlawan pangan

Masyarakat juga perlu mengenali pangan adil, di mana sistem pangan yang adil dapat memastikan terpenuhinya hak pangan seluruh masyarakat. Sistem yang mendukung rantai pasok di mana produsen dan konsumen terhubungkan langsung selain juga menciptakan harga yang adil untuk keduanya.

Cristina juga menjelaskan bahwa dalam prinsip Pangan Bijak Nusantara juga mengajak masyarakat untuk mencintai pangan lestari. Pangan tersebut dikelola dengan cara ramah lingkungan dan memperhatikan ketahanan ekosistem, ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI Puji Sumedi mengatakan sebagai negara ketiga terbesar pemilik sumber daya keanekaragaman hayati di dunia, berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, Indonesia memiliki setidaknya 77 jenis karbohidrat, 389 buah-buahan, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, 110 jenis rempah dan bumbu, 40 jenis bahan minuman.

Sejumlah karbohidrat selain beras yang akrab di telinga masyarakat Indonesia namun belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber karbohidrat seperti nasi yakni sagu yang memiliki Indeks Glikemik (IG) rendah, bebas gluten dan kaya serat. Ada pula talas yang tinggi serat, kaya vitamin dan mineral serta menjadi antioksidan.

Kentang yang tinggi serat, tinggi karbohidrat sekaligus antioksidan, pisang yang tinggi karbohidrat dan kaya vitamin serta mineral, ubi jalar memiliki IG rendah dan dapat menjadi antioksidan serta kaya serat, jagung yang tinggi serat dan IG yang rendah, serta ubi kayu atau singkong yang juga tinggi serat dengan IG menengah serta tinggi karbohidrat.

Idealnya semua sumber pangan tersebut lestari melalui proses, cara, perbuatan melestarikan, perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan. Pengelolaan sumber daya alam perlu yang benar-benar dapat menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, sehingga menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati.

Faktanya, saat ini potensi sumber pangan lokal begitu beragam dan setiap daerah atau wilayah masyarakatnya memiliki budaya sistem pangan beragam, namun pola konsumsi sumber pangan justru dibuat terbatas dan seragam. Itu membuat impor sumber pangan terjadi, khususnya karbohidrat tinggi.

Sistem pangan yang diproduksi secara besar-besaran, kata dia, justru membuat kondisi lingkungan dan ekosistem menjadi rusak, dan perbaikannya hanya dapat terjadi melalui tata kelola secara agro-ekologis. Pandemi COVID-19 seharusnya menjadi momentum untuk dapat melakukan tata kelola tersebut.

Baca juga: Luhut pastikan "food estate" Humbahas tak lewati batas hutan lindung

Revitalisasi pemanfaatan sumber pangan nusantara harus dilakukan melalui tiga hal, yakni produksi pangan lokal sesuai potensi dan budaya lokal atau agroklimatologi, kampanye dan gerakan konsumsi pangan lokal harus dibuat besar-besaran dan masif, selain regulasi pendukung untuk menjalankan itu semua.

Menurut Puji, sejumlah daerah di Indonesia sudah mulai menjalankan pelestarian dan peningkatan nilai tambah sumber pangan lokal secara lestari, salah satunya di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

KEHATI mendukung kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sangihe yang menjalankan two days no rice (dua hari tanpa nasi), menjadikan Sangihe kabupaten organik, dan menjalankan PasTaNe (Pasar Tani dan Nelayan).

Mereka juga melakukan tata kelola pertanian organis seperti sagu, pala, kelapa, cengkih dan hortikultura. Promosi dan pemasaran produk bernilai tambah dilakukan, sedangkan pendampingan dan peningkatan kapasitas dilakukan pula pada masyarakat setempat, membuat Gerakan Konsumsi Pangan Lokal.

Pemkab Kepulauan Sangihe menyadari pentingnya mempromosikan pangan lokal yang memang sudah ada di daerah itu sehingga tidak perlu lagi mendatangkan beras dari luar pulau.

Cara itu membuat mereka mampu menghemat hingga Rp600 juta, emisi gas rumah kaca dapat ditekan dari proses logistik, produk pangan serta petani lokal pun menjadi primadona.

KEHATI tidak hanya melaksanakannya di Kepulauan Sangihe, tetapi juga di beberapa daerah lainnya, seperti di Flores-Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan sorgumnya dan Samate, Salawati, Raja Ampat di Papua Barat dengan sagunya.

Maka, masyarakat sebagai konsumen yang mengonsumsi pangan yang menjadi penentu. Apa yang menjadi pilihan mereka untuk diletakkan di masing-masing piring mereka menjadi penentu kondisi Bumi di masa depan.

Baca juga: Masyarakat Samo kembalikan pangan lokal lewat festival rakyat
Baca juga: Pakar: Ancaman krisis pangan tidak datang tiba-tiba
Baca juga: Lumbung pangan Sumut bisa jadi contoh provinsi lain, sebut Presiden