Jakarta (ANTARA News) - Kepala Departemen Kampanye Pemantau Sawit Jefri Gideon Saragih menyatakan, pihak-pihak tertentu telah memanipulasi tingginya permintaan global minyak kelapa sawit untuk makanan, kosmetik dan yang terbaru bahan bakar alami dari Eropa, China dan Asia, untuk mengeksploitasi alam dan tenaga murah secara berlebihan.

"Perkembangan kelapa sawit Indonesia sangat bagus tetapi ada beberapa pihak yang mencoba mengambil keuntungan," kata Jefri pada sebuah diskusi yang juga dihadiri Walhi, Sawit Watch, Greenpeace, dan Forest Watch Indonesia itu.

Jefri memaparkan, Indonesia memiliki sembilan juta hektar kelapa sawit dengan 36% diantaranya dimiliki rakyat, 43% milik swasta dan 21% milik Negara (BUMN).

Lahan seluas itu, sebut Jefri, menghadapi sejumlah masalah seperti program revitalisasi perkebunan sawit, undang-undang (UU) penanaman modal dan pengelolahan satu atap.

Jefri menyoroti secara khusus model pengelolahan satu yang membuat masyarakat pemilik tanah harus menyerahkan pengelolaan tanahnya kepada perusahaan kelapa sawit dan bagi hasil.

"Jika menolak, masyarakat akan sulit menemukan bibit buat kelapa sawitnya," katanya.

Sementara itu, LSM lainnya menyoroti nasib buruh perkebunan kelapa sawit yang nasibnya sangat memprihatinkan karena diupah di bawah upah minimum propinsi. Mereka juga bekerja di bawah tingkat keselamatan yang rendah.

"Perbulan buruh dibayar 700 ribu rupiah, padahal UMP-nya 965 ribu rupiah. Mereka juga kerap terkena penyemprotan bahan kimia beracun herbisida," kata Bagindo, aktivitas LSM Pelita Sejahtera Sumut yang fokus pada nasib buruh sawit.

Para aktivis lingkungan mendesak Indonesia mengatasi kedua masalah itu, dengan mengaudit perusahaan sawit di Indonesia, melarang pembukaan hutan, memberhentikan kerjasama pembelian bahan bakar kelapa sawit oleh Eropa, dan memperbaiki nasib pekerja kelapa sawit.

Mereka juga mendesak pemerintah memperbaiki sektor perkebunan dan meninjau ulang pemberian ijin lokasi perkebunan kelapa sawit.

"Perusahaan yang ingin mengelola kelapa sawit harus mendapat ijin dari pemerintah lokal, lalu dibawa pemerintah pusat. Yang terakhir dilakukan uji publik, sehingga diketahui layak atau tidaknya perusahaan itu beroperasi," pungkas Jefri. (*)

adam rizal/jafar sidik