Halmahera Selatan (ANTARA) - Gane Dalam mungkin merupakan sebuah nama yang asing bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, tapi siapa sangka desa yang berada di ujung selatan Pulau Halmahera di Maluku Utara itu memiliki peran cukup signifikan dalam sejarah perjuangan Tanah Air.

Untuk memulai kisah Gane Dalam, semuanya harus kembali ke saat Presiden Soekarno menyerukan Operasi Pembebasan Irian Barat. Kala itu, semangat Tri Komando Rakyat (Trikora) dikumandangkan dari Yogyakarta pada 19 Desember 1961 agar tanah Papua bisa bergabung dengan Indonesia.

Saat itu, pertempuran melawan Belanda untuk membuat wilayah yang kini dikenal sebagai Papua itu tidaklah mudah. Angkatan bersenjata Indonesia tidak bisa mengklaim kemenangan dengan cepat melawan mantan penjajahnya itu.

Indonesia, yang kala itu baru merdeka 16 tahun, menghadapi kesulitan karena pasukan Belanda mengetahui titik-titik yang menjadi pangkalan tempat armada Indonesia berlabuh.

Baca juga: Sali Kecil dan praktik baik jaga alam di tengah keterbatasan


Gane Dalam berperan

Gane Dalam dengan hutan bakaunya yang rimbun kala itu memiliki teluk yang dikenal dengan nama Teluk Kasuari. Wilayah teluk tersebutlah yang digunakan oleh armada laut Indonesia sebagai pangkalan untuk melawan Belanda.

Salmin adalah salah satu warga Desa Gane Dalam yang menyaksikan ketika desanya menjadi pangkalan sementara untuk armada yang ingin membawa Irian Barat bergabung dengan Ibu Pertiwi. Ingatannya kala kecil akan kapal-kapal Indonesia memasuki Teluk Kasuari masih membekas hingga saat ini.

Pria berusia 72 tahun itu melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika puluhan kapal berlabuh tidak jauh dari desanya.

Kala itu armada Indonesia sempat menempatkan pangkalannya di Pulau Aru yang saat ini berada di pemerintahan Provinsi Maluku. Setelah tempat itu diketahui Belanda, pangkalan kembali dipindahkan ke Pulau Bacan, yang berada tidak jauh dari Gane Dalam.

Menurut kisah yang didengar Salmin kala itu. Presiden Soekarno kemudian menghubungi Sultan Ternate, yang memberitahukan tempat yang tepat untuk menempatkan pangkalan kapal untuk operasi merebut Irian Barat.

Baca juga: Masyarakat Samo kembalikan pangan lokal lewat festival rakyat

Tempat itu dekat dengan Irian Barat dan memiliki teluk yang baik untuk menempatkan armada. Setelah orang kepercayaan Soekarno melihat posisi Gane Dalam maka ditempatkanlah pangkalan itu di sana.

"Selama sembilan bulan lebih, aman," kata Salmin ketika ditemui ANTARA di Desa Gane Dalam, yang dikunjungi dalam rangka Ekspedisi Maluku EcoNusa.
Tim Ekspedisi Maluku dari EcoNusa melihat kondisi bakau di Desa Gane Dalam, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (24/10/2020) (ANTARA/Prisca Triferna)



Balas jasa

Dengan jasa yang cukup signifikan itu, Gane Dalam hanya menjadi catatan kecil dalam tebalnya lembaran yang menceritakan sejarah panjang Indonesia. Namanya juga tidak dikenal oleh masyarakat secara umum.

Tidak hanya itu, desa penghasil kopra itu kini mengalami perubahan dalam kampung mereka. Perubahan itu datang dalam bentuk perkebunan sawit.

Hutan Gane Dalam yang dulunya memiliki berbagai jenis pohon kini berubah menjadi jejeran rapi hamparan sawit.

Sawit di Gane Dalam dimulai dari perusahaan swasta yang memiliki izin untuk memanfaatkan kayu di lahan seluas 11.003,9 hektare (ha) pada 2010. Izin pemanfaatan hutan produksi itu berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.22/Menhut-II/2009 yang dikeluarkan 29 Januari 2009.

Perusahaan swasta itu menebang dan mengamankan kayu-kayu yang dianggap bernilai untuk dijual dan tidak lama setelah itu pada 2013, perusahaan itu dibeli oleh sebuah perusahaan multinasional yang kemudian mengonversi lahan bekas penebangan hutan menjadi area perkebunan sawit.

Tidak semua warga Gane Dalam menyukai kedatangan investasi sawit, sebagian besar masyarakat menolak kedatangan perusahaan tersebut. Akibatnya, sempat terjadi perbedaan opini antara yang mendukung dan menentang sawit di dalam desa itu sendiri.

Baca juga: Desa pesisir Halmahera belajar tatap muka di tengah keterbatasan

Puncaknya adalah penahanan 13 penduduk di desa berpenduduk sekitar 1.315 orang itu yang menentang adanya perkebunan sawit. Mereka harus menghabiskan sekitar 60 hari di balik jeruji besi karena dituduh mengganggu aktivitas perusahaan.

Muhammad Konoras adalah salah satu anggota kelompok penentang keberadaan sawit dan saksi mata penahanan 13 warga desa pada akhir 2013. Pria yang berprofesi sebagai petani itu menjadi salah satu dari 15 yang ditangkap, tapi dia dibebaskan bersama seorang warga lain karena dianggap tidak bersalah.

Tokoh agama Gane Dalam itu mengatakan bahwa pada saat itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara mendampingi mereka hingga akhirnya berhasil dibebaskan lewat jalur pengadilan.

"Kami sengsara, karena kondisi perkebunan kami sudah mulai berubah. Kelapa tidak ada, kumbang datang makan. Perubahan itu sejak perusahaan masuk," kata dia.

Menurut Muhammad, sejak area di sekitar Gane Dalam berubah menjadi perkebunan sawit, hama mulai berdatangan ke pohon-pohon kelapa yang menjadi salah satu sumber pendapatan warga sekitar. Mereka tidak mengalami panen sejak 2013 dan baru merasakannya kembali dalam setahun terakhir.

Tidak hanya itu, ikan-ikan yang biasa mereka temukan di akar-akar hutan bakau di dekat desa pun ikut menghilang. Dia menyebut adanya satu jenis ikan bernama lompa yang masyarakat sebut sebagai tuan tanah daerah itu.

Ikan itu kerap ditemukan di dekat perairan Gane Dalam dan di Teluk Kasuari yang ada di dekatnya. Tapi, ikan itu kini sudah tidak bisa ditemukan lagi.

Dalam sosialisasi awal perusahaan kepada masyarakat, mereka mengklaim jarak perkebunan dari pesisir adalah 500 meter. Tapi kini sawit sudah berada di dekat bibir pantai.

Baca juga: EcoNusa dorong gerakan penyelamatan lingkungan mewabah di masyarakat

Kesulitan yang terus dialami itu membuat beberapa warga Gane Dalam kini bekerja menjadi buruh di perkebunan sawit tersebut.

Sebagian masyarakat desa lainnya memilih untuk mencari jalan lain untuk menambah pemasukan mereka selain berjualan kopra, yang menjadi komoditas andalan Gane Dalam. Contohnya, sekelompok ibu-ibu mulai membuat keripik pisang dan minyak kelapa.

Penjualan itu dilakukan mereka dengan menitip dagangan di kapal penumpang yang berlabuh setiap harinya di dermaga dan menggunakan jaringan WALHI untuk menjualnya di Ternate.

Selain itu, pemuda Gane Dalam juga mulai menyadari pentingnya menjaga alam. Mereka kini juga mulai melakukan penanaman bakau di daerah sekitar desa mereka.

Semua itu dilakukan agar mereka bisa bertahan di tengah kenyataan perkebunan mereka tidak sesubur dan sebesar dulu.

Di saat seperti itu masyarakat memimpikan adanya secercah harapan. Warga Gane Dalam berharap adanya bantuan untuk mengembangkan kemampuan mereka demi mempertahankan mata pencaharian dan alam.

Mereka mengharapkan itu setidaknya untuk membalas jasa Gane Dalam untuk Indonesia, meski mungkin nama desa mereka tidak tercatat dalam banyak buku-buku sejarah.

"Saya bertanya, dengan jasa sebesar itu apa tidak punya imbalan sedikit dari negara?" tanya Salmin, mengakhiri pembicaraan.

Baca juga: Yayasan EcoNusa luncurkan program bantuan liputan isu hutan Papua