Jakarta (ANTARA News) - Tak banyak yang tahu kalau 2 April adalah Hari Peduli Anak Austisme Sedunia, sebagai bentuk kepedulian nyata masyarakat dunia pada anak-anak dan remaja penyandang autisme.
Peringatan itu ditetapkan oleh Sidang Umum PBB pada 18 Desember 2007. Jumlah anak dan remaja autisme dikhawatirkan terus meningkat.
Tahun 2007 saja tercatat ada 30 juta anak autisme di seluruh penjuru dunia. Naik lagi pada 2008 menjadi 60 juta orang.
Begitu juga di Indonesia, jumlahnya dikhawatirkan terus bertambah. Pemahaman publik mengenai hal ini sendiri masih belum dalam, terlihat dari jumlah anak dan remaja autis yang dirawat rumah sakit atau pusat-pusat terapi.
Pandangan masyarakat terhadap autisme juga menyedihkan karena banyak yang memandang negatif pengidap autis. Bahkan ada yang menyebutnya abnormal dan kelainan bawaan.
Padahal autisme hanyalah gangguan perkembangan anak dari berbagai aspek, meliputi gangguan perkembangan komunikasi (bahasa), fungsi sosial dan prilaku repetitif, serta interaksi sosial, sehingga mereka menjadi berbeda dari yang lainnya.
Sisi positifnya, banyak juga lembaga sosial, perguruan tinggi seperti STIKOM LSPR yang mendirikan Autism Awareness Center, dan organisasi masyarakat yang menumpahkan kepeduliannya kepada anak dan remaja autis.
Pada Hari Peduli Anak Autisme Sedunia ini masih ada persoalan yang agak merisaukan, yakni label cenderung negatif terhadap anak-anak autisme ini, hanya karena orangtua, keluarga dan masyarakat kurang peka terhadap masalah anak-anak khusus ini.
Kondisi ini bisa mengganggu penanganan masalah autisme, karena pemberian label yang cenderung negatif hanya akan menonjolkan kekurangan-kekuarangan anak.
Buktinya terlihat dari banyaknya sekolah yang tidak mau menerima anak-anak autis, sementara sekolah khusus dan berbagai pusat terapi untuk anak dan remaja autis sangatlah mahal. Padahal, siapapun dan keluarga manapun, tidak peduli status sosialnya, bisa mengidap gangguan itu.
Jika anak yang sedang tumbuh dengan perkembangan yang terganggu ini, ditambah julukan-julukan menyakitkan, lalu diperparah oleh sikap sekolah atau masyarakat yang menolak mereka, bagaimana bisa nasib baik nasib anak-anak autis?
Lagi pula, anak autis juga punya hak anak. Keadaan ini juga bukan kemauan mereka. Jangan pula salahkan anak dan remaja auti yang seakan-akan hanya hidup dengan dunianya sendiri.
Seorang teman yang mempunyai anak autis mengungkapkan betapa lelahnya dia dan keluarga, terutama istrinya, dalam menghadapi anak gadisnya yang sekarang beranjak remaja.
"Anak itu hidup dengan alamnya sendiri, mau apa saja, dan kami tidak boleh lengah, bahkan pintu rumah dan pagar benar-benar harus dikunci kencang," katanya.
Dia mengaku, segala usaha sudah dilakukan, sesuai dengan pendapat ahli yang ditemuinya.
Dia tidak sendirian. Banyak keluarga yang dititipi anak dan remaja autis sebenarnya juga sedang meniti jalan panjang yang belum tahu ujungnya. Sampai sekarang, dunia ilmiah medis pun belum bersepakat mengenai penyebab autisme.
Ada yang beranggapan penyebabnya genetis atau keturunan, namun ini pun belum ada bukti ilmiahnya.
Label
Menghadapi anak autis pada hakikatnya sama saja dengan menghadapi anak-anak lainnya. Mereka adalah anak dengan dunia anak dengan segala polahnya.
Namun, ada banyak masalah dalam menanganinya, termasuk motivasi orangtua dan keluarga penyandang autis. Banyak orangtua yang terlanjur putus asa, lalu memberi julukan-julukan buruk kepada anak-anak autis
Mitos bahwa autisme identik dengan abnormal atau genius, mempengaruhi pola pengasuhan orangtua dan keluarga kepada anak-anak autis. Dalam kondisi ini label-label negatif pada anak-anak autis berseliweran dalam rumah, yang tanpa disadari menjelma menjadi identitas anak.
Yang menjadi persoalan, apapun label itu, anak-anak itu sebenarnya tidak mempedulikannya. Mereka tidak mengerti apa yang dijuluki oleh orangtuanya. Inilah yang tidak sensitif. Orangtua atau keluarga menjuluki anak sesuai menurut perspektifnya sendiri, sementara anak tumbuh dalam dunianya.
Berkomunikasi yang efektif dengan anak dan remaja istimewa ini sebenarnya tidaklah sukar, asal saja orangtua, keluarga dan masyarakat "mau tampil beda." Artinya, untuk mengatasi perbedaan ini perlu seni berkomunikasi.
Raines & Ewing dalam The Art of Connecting (2006) mengatakan, dalam membangun komunikasi, ada beberapa hal yang perlu dikenali, yaitu yakinlah bahwa selalu ada jembatan sebagaimana seseorang berusaha untuk menyesuaikan dirinya dalam berbagai situasi, ada rasa peduli dengan mitra/ apalagi dengan anak sendiri, dan setiap individu adalah budaya/unik, dan setiap hubungan atau komunikasi pada hakikatnya menuntut perubahan.
Dalam kaitannya dengan anak-anak dan remaja autis ini, membangun komunikasi dengan mereka adalah bagaimana menghargai anak dengan tulus, menjalin keterbukaan, dan terpenting bagaimana menerima keberbedaan mereka. Di sini, perspektif orangtualah yang perlu menyesuaikan dengan perspektif anak.
Menurut Raines & Ewing, jika komunikator mampu menghargai perbedaan orang lain dan mempunyai kemauan untuk menjalin hubungan dengan mereka, maka akan terjalinlah komunikasi efektif.
Di sini, orangtua jangan lelah menghadapi anak dan remaja autis karena harapan mereka sebenarnya sederhana saja yaitu ingin bergaul dengan teman-temannya, bersekolah, dihargai, dan disayangi, sesuai dengan hak-hak anak umumnya.
Kuncinya sederhana, orangtua perlu lebih dulu mengenali daya dan gaya komunikasi mereka sendiri sehingga terjalinlah komunikasi akrab dengan anak-anak dan remaja autis. Artinya, orangtua perlu juga memasuki dunia anak dan remaja autis. (*)
(**) Staf Pengajar STIKOM London School of Public Relations Jakarta
Mari Peduli Autisme
3 April 2010 06:46 WIB
Seorang perempuan memegang stiker serta bunga saat melakukan aksi solidaritas Autis di Bunderan HI,Jakarta,Minggu(15/4). (ANTARA/Jefri Aries)
Oleh Artini (**)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
Tags: