Peneliti sarankan belajar ketahanan pangan dari Singapura
26 Oktober 2020 17:23 WIB
Sejumlah anggota PKK memanen kangkung yang ditanam dengan sistem hidroponik di sekitar pekarangan rumah di Desa Bugangan, Bandongan, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (17/10/2020). Sebagian warga setempat melaksanakan program Tani Pekarangan dengan memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk menanam berbagai jenis sayuran dengan sistem hidroponik untuk mewujudkan ketahanan pangan di tengah pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amarta menyarankan Indonesia dapat belajar mengenai ketahanan pangan dari Singapura yang berada di posisi teratas dalam Global Food Security Index versi The Economist.
"Ketahanan pangan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Kalau melihat negara dengan ketahanan pangan terbaik di dunia, yaitu Singapura, tentu hal ini terbantahkan karena Singapura memiliki lahan yang terbatas dan hampir semuanya digunakan untuk bangunan," kata Felippa dalam siaran pers, Senin.
Namun, menurut dia, Singapura terbuka terhadap pasar global dan melakukan diversifikasi untuk kebutuhan pangannya dari banyak negara.
Oleh karena itu, masih menurut Felippa, negara-negara dengan kebijakan pangan yang terbuka cenderung lebih memiliki ketahanan pangan yang lebih baik.
Baca juga: LIPI: Pertanian urban bisa jadi solusi masalah pangan semasa pandemi
Ia mengingatkan bahwa berdasarkan Global Food Security Index yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat 62 dari 113 negara dalam Global Food Security Index oleh The Economist Intelligence Unit.
Hal tersebut, lanjutnya, menjadi suatu gambaran bahwa belum semua rakyat Indonesia memiliki akses terhadap pangan bergizi dengan harga terjangkau.
Untuk itu, ujar dia, belajar dari Singapura, maka dinilai perlu adanya fleksibilitas dalam proses melakukan impor.
"Importir pangan kerap dihadapkan pada proses birokrasi yang berkepanjangan sehingga rentan untuk bisa cepat beradaptasi dengan tingginya harga pangan," ucapnya.
Baca juga: Kemenperin genjot hilirisasi sagu dukung ketahanan pangan
Selain itu, ujar Felippa, impor pangan sering dianggap negatif oleh kebanyakan masyarakat Indonesia karena sudah sejak lama, masyarakat Indonesia mendapatkan pemahaman bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan luas yang subur dan juga petani.
Hal tersebut, lanjutnya, pada akhirnya membuat masyarakat heran kalau Indonesia mengimpor kebutuhan pangannya, padahal impor pangan tidak selalu buruk karena Indonesia memang membutuhkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
"Di saat yang bersamaan, swasembada pangan juga tidak selalu membawa dampak positif untuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan proteksionis yang pada akhirnya merugikan kepentingan Indonesia," katanya.
"Ketahanan pangan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Kalau melihat negara dengan ketahanan pangan terbaik di dunia, yaitu Singapura, tentu hal ini terbantahkan karena Singapura memiliki lahan yang terbatas dan hampir semuanya digunakan untuk bangunan," kata Felippa dalam siaran pers, Senin.
Namun, menurut dia, Singapura terbuka terhadap pasar global dan melakukan diversifikasi untuk kebutuhan pangannya dari banyak negara.
Oleh karena itu, masih menurut Felippa, negara-negara dengan kebijakan pangan yang terbuka cenderung lebih memiliki ketahanan pangan yang lebih baik.
Baca juga: LIPI: Pertanian urban bisa jadi solusi masalah pangan semasa pandemi
Ia mengingatkan bahwa berdasarkan Global Food Security Index yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat 62 dari 113 negara dalam Global Food Security Index oleh The Economist Intelligence Unit.
Hal tersebut, lanjutnya, menjadi suatu gambaran bahwa belum semua rakyat Indonesia memiliki akses terhadap pangan bergizi dengan harga terjangkau.
Untuk itu, ujar dia, belajar dari Singapura, maka dinilai perlu adanya fleksibilitas dalam proses melakukan impor.
"Importir pangan kerap dihadapkan pada proses birokrasi yang berkepanjangan sehingga rentan untuk bisa cepat beradaptasi dengan tingginya harga pangan," ucapnya.
Baca juga: Kemenperin genjot hilirisasi sagu dukung ketahanan pangan
Selain itu, ujar Felippa, impor pangan sering dianggap negatif oleh kebanyakan masyarakat Indonesia karena sudah sejak lama, masyarakat Indonesia mendapatkan pemahaman bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan luas yang subur dan juga petani.
Hal tersebut, lanjutnya, pada akhirnya membuat masyarakat heran kalau Indonesia mengimpor kebutuhan pangannya, padahal impor pangan tidak selalu buruk karena Indonesia memang membutuhkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
"Di saat yang bersamaan, swasembada pangan juga tidak selalu membawa dampak positif untuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan proteksionis yang pada akhirnya merugikan kepentingan Indonesia," katanya.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: