Jakarta (ANTARA) - Krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 sangat terkait erat dengan kondisi perekonomian Amerika yang memburuk.

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius.

Goncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Gejolak perekonomian di AS telah memengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan.

Keterbukaan ekonomi antar negara, memungkinkan terjadinya resesi di suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya.

Dalam buku yang dirilis Bappenas berjudul "Penyebab dan Dampak Krisis Keuangan Global", disebutkan bahwa krisis keuangan yang terjadi di AS bermula dari krisis kredit perumahan di negara itu. Amerika Serikat pada 1925 telah menetapkan undang-undang mengenai Mortgage (Hipotek).

Peraturan tersebut berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit kepemilikan rumah yang memberikan kemudahan bagi para kreditur. Banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada masyarakat --yang sebenarnya secara finansial tidak layak memperoleh kredit.

Situasi tersebut memicu kasus kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Kredit macet di sektor properti tersebut mengakibatkan efek domino yang mengarah pada kebangkrutan beberapa lembaga keuangan di AS.

Keadaan seperti itu dikarenakan lembaga pembiayaan sektor properti umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain --biasanya adalah lembaga keuangan.

Jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah surat utang (subprime mortgage securities) yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Padahal, surat utang tersebut tidak ditopang dengan jaminan debitor yang memiliki kemampuan membayar kredit perumahan yang baik.

Dengan adanya tunggakan kredit properti, perusahaan pembiayaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada lembaga-lembaga keuangan, baik bank investasi maupun aset manajemen. Karenanya, likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan terpengaruh.

Kondisi tersebut mengarah kepada terkurasnya likuiditas lembaga-lembaga keuangan karena tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada.

Ketidakmampuan membayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan yang memberikan pinjaman terancam bangkrut.

Kondisi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di AS memengaruhi likuiditas lembaga keuangan yang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar Amerika Serikat --terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di negara itu. Di sinilah krisis keuangan global bermula.

Buku yang dirilis Bank Indonesia berjudul "Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008" menyebutkan akibat terparah dari krisis ini adalah tidak berfungsinya sektor keuangan AS --yang merambat pada tidak berfungsinya sektor keuangan dunia.

Profil risiko pinjam meminjam likuiditas tiba-tiba melonjak tinggi sepanjang tahun 2008, terlebih setelah bangkrutnya bank investasi terbesar keempat di AS seperti Lehman Brothers.

Likuiditas secara tiba-tiba mengering di seluruh dunia dan kegiatan ekonomi global pun melambat.

Krisis global yang terjadi pada 2008 cepat menjalar dan menyerang negara-negara lain. Secara umum, sebagian besar ekonomi dunia terkena imbas krisis ekonomi global melalui dua jalur utama yaitu: perdagangan dan finansial.
Ilustrasi - Para pialang sedang bekerja di lantai Bursa Saham New York, Wall Street, Amerika Serikat. ANTARA/REUTERS/pri.


Di sisi perdagangan, kinerja ekspor semakin tertekan dengan anjloknya harga yang berdampak cukup kuat,khususnya ke negara-negara pengekspor komoditas sumber daya alam (SDA).

Sementara itu dari jalur transaksi finansial, dampak dari krisis ekonomi global merambat ke kawasan Asia. Keadaan itu terindikasi dari penurunan bursa saham dan depresiasi nilai tukar akibat perilaku risk aversion investor asing.

Di Jepang, perekonomian sudah mengalami fase resesi dan diperkirakan akan terus memburuk. Ekonomi Jepang mengalami pertumbuhan negatif dalam dua triwulan terakhir, bahkan di triwulan IV-08 jatuh menjadi -4,3 persen (yoy) atau turun lebih tajam dari ekonomi AS (-0,8 persen, yoy) di periode yang sama.

Perlambatan ekonomi Jepang lebih didorong oleh pelemahan kinerja ekspor akibat tajamnya apresiasi nilai yen dan menurunnya permintaan global, juga melambatnya pengeluaran modal perusahaan.

Dengan melihat perkembangan tersebut, ekonomi negara maju pada keseluruhan tahun 2008 diperkirakan hanya tumbuh sebesar satu persen (yoy) menurun dibandingkan dengan tahun 2007, yaitu sebesar 2,7 persen. Ekonomi negara berkembang juga melambat, terimbas dari krisis ekonomi global.

Dampak perlambatan ekonomi negara maju memengaruhi ekonomi kawasan melalui penurunan kinerja sektor eksternal terutama di negara-negara yang memiliki ketergantungan pada sektor eksternal.

Hampir sebagian besar ekspor negara Asia jatuh akibat kemerosotan permintaan, khususnya dari negara-negara maju.

Sebagian besar bursa di Asia juga mengalami tekanan, yang tercermin dari anjloknya bursa saham yang mendorong menurunnya kesejahteraan dan jatuhnya indeks keyakinan. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi di Asia melambat akibat krisis ekonomi global.

Ekonomi negara-negara Asia, seperti Malaysia dan Thailand, mengalami perlambatan cukup tajam pada triwulan IV-2008, sementara beberapa negara yang tergolong kategori negara industri baru Asia, seperti Hongkong, Singapura, dan Taiwan mengalami kontraksi ekonomi --terutama diakibatkan anjloknya ekspor produk teknologi tinggi atau padat modal.

Ekonomi China dan India, yang lebih mengandalkan permintaan dalam negeri, juga terkena imbas meski dampaknya tidak sebesar negara-negara Asia lainnya.

Penurunan konsumsi domestik tercermin dari penurunan impor sehingga semakin meningkatkan surplus perdagangan --khususnya di China.

Pertumbuhan ekonomi negara berkembang tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,3 persen (yoy) di akhir tahun.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa ekonomi Asia dinilai cukup resisten menghadapi terpaan krisis.

Resiliensi ekonomi Asia terutama terjadi pada negara-negara yang tidak memiliki ketergantungan besar pada ekspor ke negara maju.

Tren penurunan permintaan eksternal dan harga komoditas global berdampak pada kinerja neraca pembayaran di negara-negara Asia yang memburuk.

Pada awal 2008, harga komoditas dunia terus meningkat --dipicu masih tingginya permintaan dari negara berkembang dan dolar AS yang melemah.

Namun pada perkembangan selanjutnya, harga turun tajam seiring krisis finansial global. Keadaan itu mengakibatkan resesi dan penurunan permintaan minyak.

Harga minyak bahkan terus merosot meski OPEC sudah mengumumkan penurunan produksi selama tiga kali, yakni pada September, Oktober, dan Desember.

Harga komoditas dunia turun mengikuti tren harga minyak dunia. Pergerakan harga minyak yang merosot sejak triwulan III-2008 mendorong harga komoditas seperti kedelai dan CPO juga anjlok karena permintaan yang turun sebagai alternatif pengganti energi (biofuel).

Selain itu, harga komoditas turun --dipicu oleh resesi global yang menyebabkan penurunan permintaan atas komoditas dunia. Kemerosotan harga komoditas internasional menurunkan kinerja neraca pembayaran khususnya ke negara-negara pengekspor.

Dalam penelitian ekonom Iman Sugema berjudul "Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia", disebutkan bahwa imbas krisis keuangan di Amerika pada akhirnya juga dirasakan oleh Indonesia.

Keyakinan yang tinggi dari pemerintah Indonesia, bahwa krisis di Amerika tidak akan berimbas kepada perekonomian Indonesia karena memiliki fondasi yang kuat, ternyata tidak terbukti.

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, imbas krisis Amerika sangat kuat dirasakan oleh bangsa Indonesia dan terlihat dari beberapa indikator.

Di antaranya ialah merosotnya indeks harga saham di BEI secara tajam, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS --yang sudah menembus ambang batas psikologis, hingga sektor perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas. Bahkan, pemerintah sulit mencari pinjaman di pasar keuangan.

Selain itu, krisis keuangan yang semula hanya dialami Amerika pada prosesnya telah menjalar ke negara-negara lain dan berubah, tidak hanya menjadi krisis keuangan yang berskala global tetapi juga menyebabkan pelambatan ekonomi secara global.

Keadaan itu selain berakibat pada melemahnya sektor keuangan, juga berimplikasi pada sektor riil.

Sektor rill domestik, yang berhubungan dengan sektor keuangan domestik serta dengan sektor riil dan keuangan internasional melalui aktivitas ekspor impor dan pembiayaan, merasakan dampak krisis keuangan dan pelambatan ekonomi global.

Dampak lanjutan dari krisis keuangan dan pelambatan ekonomi bagi masyarakat juga mulai dirasakan dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dalam aktivitas industri menjadi opsi kebijakan perusahaan dalam menghadapi kelesuan perekonomian.


Baca juga: Strategi "food estate" Jokowi hadapi ancaman krisis pangan global

Baca juga: Dividen global anjlok menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan 2009


Presiden ingatkan krisis ekonomi global itu nyata