Jakarta (ANTARA) - Pakar sekaligus Guru Besar dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB University Prof Dr Muhammad Rizal Martua Damanik mengatakan sekitar dua juta anak Indonesia menderita wasting parah atau berat badan yang rendah untuk tinggi badan.

"Suatu jenis kurang gizi akut yang ditandai dengan hilangnya lemak tubuh dan jaringan otot secara masif menyebabkan mereka terlihat tua dan sangat kurus," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ciri lainnya yakni memiliki kekebalan yang lemah, rentan terhadap keterlambatan perkembangan jangka panjang dan menghadapi peningkatan resiko kematian, terutama bila wasting parah. Dalam jangka panjang, kekurangan asupan gizi akan meningkatkan risiko penyakit jantung, hipertensi, diabetes, obesitas dan penyakit degeneratif lainnya.

Baca juga: Hari Pangan, Peneliti: Momentum evaluasi kebijakan ketahanan pangan

Dalam laporan Global Hunger Organization (GHO) 2019 untuk Global Hunger Index (GHI) menunjukkan bahwa masyarakat di negara-negara anggota ASEAN masih relatif lapar. Pada 2018, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 119 negara yang disurvei tertinggal dari anggota ASEAN lainnya yaitu Thailand urutan 44, Malaysia 57, Vietnam 64, Myanmar 68 dan Filipina 69.

Namun, pada 2019, GHI Indonesia berhasil memperoleh skor yang lebih baik meski hanya sedikit. Dari 117 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan ke-70 yang masih kalah dari Thailand 46, Malaysia 57, Vietnam 62 dan Myanmar 69.

Sementara itu, Asian Development Bank (ADB) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) melaporkan bahwa 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis antara 2016 dan 2018. Laporan berjudul "Kebijakan Mendukung Kebutuhan Investasi Pangan dan Pertanian Indonesia tahun 2020-2045" juga mengungkapkan masalah akses dan kerawanan pangan masih belum terselesaikan.

"Dalam studi terpisah yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia menempati peringkat ke-65 dari 113 negara di Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI)," ujar dia.

Baca juga: Meski tergantung impor, Singapura kalahkan RI soal ketahanan pangan

Peringkat tersebut berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang menempati urutan pertama dalam indeks, Malaysia di peringkat ke-40, Thailand 54 dan Vietnam 62.

Prof Rizal menambahkan lapar dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang saling terkait. Orang mengalami lapar karena tidak tersedianya pangan untuk dimakan. Lapar yang berkelanjutan menyebabkan orang kurang gizi, energi dan berbagai komponen gizi mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan serta perkembangan.

Pada kelompok rentan yakni ibu hamil dan bayi, kurang gizi secara kronis akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin dan bayi yang kemudian berpotensi mengalami stunting.

Baca juga: Asupan makanan bergizi sangat diperlukan anak saat pandemi

Pandemi COVID-19 telah berdampak pada perubahan tatanan kehidupan sosial serta menurunnya kinerja ekonomi. Turunnya kinerja ekonomi berdampak pada hilangnya pekerjaan dan hilangnya pendapatan masyarakat.

"Kehilangan pendapatan akan menyebabkan daya beli keluarga akan pangan rendah, kemudian menyebabkan lapar sehingga dapat mengakibatkan kurang gizi," katanya.

Tantangan jangka panjang, pandemi COVID-19 dapat mengancam sistem pangan, menurunnya ketersediaan dan rantai distribusi, serta ketidakstabilan ketahanan pangan suatu negara. Ketahanan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan sektor pertanian.

Baca juga: KPPPA-FOI ajak masyarakat merdekakan anak dari kelaparan