Medan (ANTARA News) - Penguasaan asing atas minyak dan gas nasional harus dievaluasi kembali menyusul berlangsungnya perdagangan bebas di kawasan perhimpunan bangsa Asia Tenggara (ASEAN), dan khususnya China -Indonesia.

"Fakta sudah menunjukkan ketakberdayaan pemerintah dalam penerimaan anggaran yang semakin seret karena minyak dan gas dikuasai asing. Jadi itu harus menjadi pertimbangan utama evaluasi atas penguasaan asing," kata pengamat ekonomi Sumut, Jhon Tafbu Ritonga, di Medan, Minggu.

Kesulitan pemerintah itu diakui semakin panjang setelah terbitnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang sangat merugikan rakyat.

Dikatakan merugi karena adanya "mafia" perminyakan dan gas yang merupakan sumber paling potensial dan andalan negara.

"Revisi UU NO. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang juga direkomendasikan DPR RI periode lalu memang dinilai sangat medesak," kata Jhon yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Suamtera Utara (USU.

Apalagi ada dugaan kuat, inisiator UU Migas itu dari International Monetary Fund (IMF) lewat "letter of intent".

"Tetapi revisi itu jangan pula menjadi bola panas yang nantinya akhirnya merugikan pemerintah dan rakyat juga," katanya.

Evaluasi, kata dia, juga harus menyentuh soal diperbolehkannya asing menjual BBM bersubsidi yang dilakukan pemerintah sejak Januari 2010.

"Saya kira itu suatu langkah yang aneh, masa asing yang sudah mendapat kemudahan berinvestasi di Indonesia diberi kemudahan lain khususnya atas produk yang masih disubsidi pemerintah," katanya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesi (YLKI) Medan, Abubakar Siddik, mengatakan, Petronas tidak memberikan sumbangsih apa-pun kepada pemerintah dan rakyat sehingga harusnya tidak diberi kemudahan seperti menjual premium bersubsidi.

Berbeda dengan Pertamina yang keuntungannya sebagian dinikmati rakyat dengan berbagai bantuan.

"Pemerintah harus mencabut kebijakan SPBU asing seperti Petronas yang diperbolehkan menjual premium bersubsidi seperti yang sudah dimulai Januari 2010. Karena kalau-pun ada klaim dari konsumen, pemerintah tidak bisa semudah mengklaim ketika masalah itu bersumber dari SPBU nasional," katanya.

Pemerintah harus benar-benar menggalakkan dan mendorong rakyat mencintai produk dan ikut membantu pengusaha lokal ditengah semakin ketatnya persaingan dalam ACFTA, kata Abubakar.
(T.E016/S015/P003)