Ambon (ANTARA) - Dari balik pintu rumah sosok wanita paruh baya mengumbar senyum, jari jemarinya yang masih lincah dan cekatan menata utasan benang yang merentang pada Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), sesuai pola tenun yang diwariskan sebagai bagian karya yang masih dilestarikan hingga kini.

Usia lansia tidak mengendorkan semangat Amanda Welhelmina Langoru (74 tahun), yang kerap disapa Oma Min, pengrajin tenun ikat bunga Larat di Kabupatan Kepulauan Tanimbar untuk menghasilkan karya seni tradisional yang kini telah merambah pasar dunia.

Disudut lain beberapa perempuan lainnya sibuk memintal benang beraneka warna yang akan ditenun menjadi tenun ikat Tanimbar.

Beberapa perempuan paruh baya tengah tekun menenun di ruangan kecil yang merupakan rumah produksi kelompok usaha tenun bunga larat di Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon.

Baca juga: Wignyo Rahadi ramu tenun Sultra jadi busana muslim elegan di MUFFEST

Di ruangan kecil berukuran 5x5 meter persegi tangan-tangan terampil merajut benang-benang kusut menjadi harapan untuk menyambung hidup dalam situasi pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia, termasuk Kota Ambon.

“Kami sangat bersyukur di tengah pandemi COVID-19 kami para kaum ibu yang merupakan ibu rumah tangga dapat bekerja menghasilkan karya untuk dijual ke pasaran dan meningkatkan pendapatan, " kata Oma Min, yang juga ketua kelompok tenun bunga larat, saat dijumpai Antara.

Menenun telah ditekuni Oma Min sejak tahun 1982 untuk membantu suami yang berprofesi sebagai aparat kepolisian.

“Nona tau sendiri gaji polisi itu berapa di jaman tahun 1980 untuk menghidupi istri dan 10 orang anak tidak cukup, sehingga beta (saya) berupaya mencari alternatif lain untuk membantu suami, yakni dengan menenun, ” kata Oma Min.

Lahir dari keluarga penenun dari Desa Larat, menjadi alasan kuat bagi Oma Min untuk melanjutkan dan melestarikan tradisi tenun ikat Tanimbar.

Kegiatan yang terbilang rumit dan menyita waktu sebagai ibu rumah tangga, tidak menyurutkan semangatnya untuk menyulap ribuan utas benang menjadi kain tenun yang memiliki nilai jual yang tinggi.

Baca juga: Tenun songket berusia ratusan tahun dari kerajaan Nusantara dipamerkan

Bagi perempuan kelahiran Souke Aki Tanimbar, menenun puluhan kain yang dipesan orang dari Jawa, bahkan Belanda hasilnya bisa mencukupi kebutuhan untuk pendidikan anak.

“Beta pernah dapat uang Rp10 juta dari hasil tenun, jumlah tersebut di tahun 1990-an cukup besar, ditambah banyak pesanan kain tenun membuat beta terus menekuni kegiatan ini hingga usia saat ini,” ujar ibu dari 10 anak ini.

Tahun 2015 dirinya juga diminta mewakili provinsi Maluku pada pameran di Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Jakarta, selain itu hasil tenunnya juga telah dipesan pelanggan ke berbagai kota di Indonesia dan di luar negeri.
Sejumlah ibu rumah tangga membuat tenun ikat larat di kelompok penenun pimpinan Oma Min di Desa Wayame.


Bantuan Pertamina

Kelompok tenun bunga larat dibentuk 13 November 2019 yang merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan PT Pertamina (Persero) Fuel Terminal BBM Wayame sebagai bentuk pemberdayaan kelompok tenun.

Kelompok ini terdiri dari 10 orang yang dibentuk dalam kepengurusan yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota yang merupakan kaum ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Desa Wayame, Kota Ambon.

Sebagian besar anggota kelompok tenun bunga larat merupakan perempuan paruh baya usia berkisar 30 – 70-an tahun, anggota kelompok ada yang sudah mahir menenun, tetapi ada juga yang baru belajar memintal benang.

“Semua ini proses belajar agar kaum perempuan yang merupakan ibu rumah tangga tidak sepenuhnya menggantungkan diri pada penghasilan suami, tetapi bisa mencari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Oma Min.

Baca juga: Merajut kembali usaha tenun tradisional Pejeng Kangin di saat pandemi

Dirinya mendapat dukungan penuh dari Pertamina melalui proses pendampingan, serta bantuan berupa pembangunan rumah produksi, alat, dan bahan untuk menunjang proses produksi tenun ikat bunga larat agar dapat berkembang.

“Beta berkesempatan mendapatkan bantuan pengembangan kelompok melalui pembangunan rumah produksi, alat, dan bahan untuk menunjang proses produksi tenun ikat,” kata perempuan berusia 74 tahun.

Selain mendapat bantuan dan pendampingan, juga diberikan pelatihan bagaimana pengelolaan keuangan agar produksi tenun dapat terus berkembang dengan baik.

Seluruh upaya ini membantu dirinya dan kelompok untuk mengembangkan produksi tenun ikat Tanimbar agar dipasarkan bukan hanya di Kota Ambon dan Provinsi Maluku, tetapi bisa ke luar daerah bahkan ke luar negeri.
Oma Min menunjukkan kain tenun produksi kelompok penenun Desa Wayame.


Berdayakan masyarakat

Community Development Officer Pertamina Fuel Terminal Wayame, Dyah Ayu Pujiatikinasih, menyatakan, sesuai Undang- Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memberdayakan masyarakat di lingkungannya.

Proses pemberdayaan kelompok tenun ikat, telah dimulai di tahun 2018, dengan memetakan potensi dan masalah yang ada di Desa Wayame yang merupakan kawasan ring satu Pertamina TBBM Wayame.

“Kami melihat bahwa salah satu potensi yang kerap dilupakan adalah budaya tenun ikat Tanimbar yang merupakan budaya tenun paling tua di Indonesia,” katanya.

Pihaknya berupaya memberikan bantuan pemberdayaan dan pelatihan berupa infrastruktur rumah produksi, alat, dan bahan tenun.

Baca juga: Koleksi New Normal Essentials berhias tenun dan lurik dari IKAT

Dengan semangat menenun Amanda Welhelmina Langoru yang sangat tinggi maka dibentuklah kelompok untuk berdayakan masyarakat terutama kaum perempuan dan lansia di Desa Wayame.

"Kita berharap budaya yang tadinya hanya dimiliki Oma Langoru bisa diturunkan kepada generasi selanjutnya, terutama kaum perempuan yang sebelumnya berprofesi sebagai ibu rumah tangga bisa mendapatkan pendapatan dari kelompok tenun ikat," kata Dyah.

Selama satu tahun kita bekerj sama dengan Human Initiative untuk memberikan pelatihan dan dukungan fasilitasi apa yang dibutuhkan oleh kelompok, setiap kebutuhan dianggarkan kemudian diberikan langsung melalui kelompok.
Oma Min bersama Dyah Ayu Pujiatikinasih dari Pertamina dan Ahmad Guntur Sitania dari Human Initiative.


Bantuan di tengah pendemi

Di tengah pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, Pertamina bersama kelompok tenun berkomitmen untuk terus menyesuaikan diri beraktivitas, berjuang bertahan dengan tetap berproduksi dengan mengikuti protokol kesehatan.

“Yang utama sehat kita semua dahulu sehingga kita bisa menguatkan kembali potensi agar kita bisa bangkit di tengah pandemi COVID-19,” kata Fasilitator Human Initiative, Ahmad Guntur Sitania.

Human Initiavie sejak Juli 2020 dipercaya PT Pertamina untuk mendampingi kelompok tenun, dan pada kondisi pandemi COVID -19 melanjutkan pendampingan serta berkomitmen meneruskan program dan memaksimalkan pelatihan.

Baca juga: Timor Leste harapkan impor benang tenun dari Indonesia

Di tahun kedua bantuan ke kelompok tenun ikat larat Lelemuku akan difokuskan untuk pengembangan kapasitas, pemasaran, dan strategis bisnis lainnya. Tahun pertama kelompok dibantu infrastruktur dan alat produksi, dan sudah banyak belajar dan latihan untuk pengembangan kelompok.

Tahun kedua pihaknya lebih banyak akan memberikan pelatihan keuangan, pangemasan produk, dan bagaimana ke depan kain tenun ikat Tanimbar ini bisa dikembangkan menjadi produk yang unik dan laku di pasar.

“Kami berupaya produk tenun ikat larat ini bisa masuk ke dalam e-commerce, sehingga tenun bisa divariasikan dengan produk lainnya dengan menyasar ke anak muda, misalnya kaos oblong, sepatu atau tas dengan motif tenun,” ujarnya.

Sejauh ini produksi tenun ikat bunga larat dijual tidak hanya dalam bentuk kain, tetapi telah dimodifikasi menjadi jas, rok, baju, kemeja, syal dan lainnya.

Harga yang ditawarkan juga beragam mulai dari Rp150 ribu hingga jutaan rupiah untuk model jas, dan pasangan kemeja dan pakaian wanita.

Baca juga: Buka Paris Fashion Week, Dior gunakan kain tenun ikat Indonesia

Baca juga: Pengrajin tenun Gianyar dibantu peralatan guna tingkatkan produksi