Anggota DPR minta pemerintah susun RPP berpihak pada konsumen halal
21 Oktober 2020 13:37 WIB
Seorang desainer yang juga pengusaha busana wanita beralih usaha menjadi pelaku UMKM makanan olahan akibat pandemi COVID-19 di Karang Arum, Pasir Jati, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (8/6/2020). Presiden Joko Widodo berencana memberikan sertifikasi halal secara gratis pada pelaku UMKM dengan menerbitkan rancangan peraturan pemerintah tentang produk halal. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp/aa.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi DPR, Bukhori Yusuf, meminta agar pemerintah mengedepankan keberpihakan pada konsumen halal dalam merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait UU Cipta Kerja, khususnya pada bagian Jaminan Produk Halal.
"Saya ingin kembali mengingatkan kepada pemerintah agar aturan turunan yang tengah disusun itu mencerminkan keberpihakan yang nyata bagi konsumen produk halal,” ujar dia, di Jakarta, Rabu.
Anggota DPR dari Fraksi PKS itu meminta pemerintah memperhatikan bagaimana aspek perlindungan konsumen produk halal.
Sebab, penghapusan klausul sanksi 'penarikan barang dari peredaran' harus dikompensasi dengan wujud sanksi yang tegas, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir di aturan turunan.
Baca juga: Polemik UU Cipta Kerja, BEM Nusantara ajak elemen bangsa tahan diri
“Pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyusun aturan turunan dari UU Cipta Kerja, khususnya perihal jaminan produk halal. Pasalnya, setelah kami melakukan penyisiran terhadap versi 812 halaman, kami menemukan sejumlah kelemahan substansi dari UU tersebut, khususnya terkait regulasi sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban registrasi halal,” ujar dia.
UU Cipta Kerja turut mengubah salah satu ketentuan di UU Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, tepatnya di pasal 48. Pada mulanya, pasal 48 UU Jaminan Produk Halal berbunyi:
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Baca juga: Ombudsman temukan dugaan maladministrasi penanganan pascademo
Namun dalam pasal 48 versi UU Cipta Kerja klausul 'berupa penarikan barang dari peredaran' dihapus sehingga berubah menjadi:
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Anggota Komisi VIII DPR itu menilai pencantuman wujud sanksi administratif yang konkret menunjukkan ketegasan dan keberpihakan Negara terhadap pengadaan produk impor yang halal.
Sebaliknya, penghapusan wujud sanksi tersebut bisa membuat kebijakan registrasi halal produk impor menjadi lebih permisif terhadap pelanggaran kewajiban registrasi.
“Penyelenggaraan jaminan produk halal sejatinya bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk. Dalam upaya mendukung hal tersebut, maka disusun juga regulasi mengenai wujud sanksi yang jelas apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan oleh pelaku usaha,” ujar dia.
Baca juga: KPPU: UU Cipta Kerja bisa ciptakan persaingan usaha sehat
"Dengan demikian, keterangan terkait wujud konsekuensi hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan (pasal 48 UU JPH) adalah dalam rangka, semaksimal mungkin, menutup celah bagi potensi terjadinya pelanggaran kewajiban registrasi," kata dia.
Selain itu, dia menilai pencantuman wujud sanksi juga sebagai upaya menyampaikan pesan yang kuat kepada pelaku usaha dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen yang beragama Islam.
Apabila aspek itu tidak diindahkan, kata dia, maka perlindungan konsumen Indonesia dalam memperoleh produk impor yang halal bisa terabaikan.
"Lebih jauh, Negara menjadi tidak berpihak pada konsumen dalam mendapatkan produk halal jika wujud sanksi yang jelas dihapuskan," kata dia.
Baca juga: Wapres dorong UMK jadi bagian rantai nilai industri halal global
"Saya ingin kembali mengingatkan kepada pemerintah agar aturan turunan yang tengah disusun itu mencerminkan keberpihakan yang nyata bagi konsumen produk halal,” ujar dia, di Jakarta, Rabu.
Anggota DPR dari Fraksi PKS itu meminta pemerintah memperhatikan bagaimana aspek perlindungan konsumen produk halal.
Sebab, penghapusan klausul sanksi 'penarikan barang dari peredaran' harus dikompensasi dengan wujud sanksi yang tegas, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir di aturan turunan.
Baca juga: Polemik UU Cipta Kerja, BEM Nusantara ajak elemen bangsa tahan diri
“Pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyusun aturan turunan dari UU Cipta Kerja, khususnya perihal jaminan produk halal. Pasalnya, setelah kami melakukan penyisiran terhadap versi 812 halaman, kami menemukan sejumlah kelemahan substansi dari UU tersebut, khususnya terkait regulasi sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban registrasi halal,” ujar dia.
UU Cipta Kerja turut mengubah salah satu ketentuan di UU Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, tepatnya di pasal 48. Pada mulanya, pasal 48 UU Jaminan Produk Halal berbunyi:
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Baca juga: Ombudsman temukan dugaan maladministrasi penanganan pascademo
Namun dalam pasal 48 versi UU Cipta Kerja klausul 'berupa penarikan barang dari peredaran' dihapus sehingga berubah menjadi:
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Anggota Komisi VIII DPR itu menilai pencantuman wujud sanksi administratif yang konkret menunjukkan ketegasan dan keberpihakan Negara terhadap pengadaan produk impor yang halal.
Sebaliknya, penghapusan wujud sanksi tersebut bisa membuat kebijakan registrasi halal produk impor menjadi lebih permisif terhadap pelanggaran kewajiban registrasi.
“Penyelenggaraan jaminan produk halal sejatinya bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk. Dalam upaya mendukung hal tersebut, maka disusun juga regulasi mengenai wujud sanksi yang jelas apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan oleh pelaku usaha,” ujar dia.
Baca juga: KPPU: UU Cipta Kerja bisa ciptakan persaingan usaha sehat
"Dengan demikian, keterangan terkait wujud konsekuensi hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan (pasal 48 UU JPH) adalah dalam rangka, semaksimal mungkin, menutup celah bagi potensi terjadinya pelanggaran kewajiban registrasi," kata dia.
Selain itu, dia menilai pencantuman wujud sanksi juga sebagai upaya menyampaikan pesan yang kuat kepada pelaku usaha dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen yang beragama Islam.
Apabila aspek itu tidak diindahkan, kata dia, maka perlindungan konsumen Indonesia dalam memperoleh produk impor yang halal bisa terabaikan.
"Lebih jauh, Negara menjadi tidak berpihak pada konsumen dalam mendapatkan produk halal jika wujud sanksi yang jelas dihapuskan," kata dia.
Baca juga: Wapres dorong UMK jadi bagian rantai nilai industri halal global
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020
Tags: