Jakarta (ANTARA News) - Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Erwin Aksa mengatakan bahwa besarnya penguasaan asing atas perbankan nasional membuat bunga kredit (lending rate) sulit turun.

Menurut Erwin, dalam siaran persnya di Jakarta Kamis, meski beberapa komponen biaya sudah turun, seiring rendahnya inflasi, ternyata bunga kredit masih sulit turun.

"Penguasaan asing disektor keuangan membuat pembuat kebijakan dan industri keuangan sulit mendorong penurunan kredit," katanya.

Data HIPMI menunjukan, penguasaan asing atas kapasitas dan aset perbankan nasional mendekati 55 persen.

Penetrasi ini berlangsung cepat sebab beberapa kebijakan Bank Indonesia (seperti single presence policy/spp) tidak efektif mendorong pertumbuhan dan kepemilikan investor lokal.

"Sampai pertengahan 2008 saja, komposisi asing di perbankan nasional sebesar 47,02 persen. Sedangkan aset yang dikuasai mencapai Rp960 triliun," kata CEO Bosowa grup ini.

Bahkan HIPMI memperkirakan, lanjutnya, sekarang sudah lewat 50 persen atau lebih, sebab penguasaan ini berlangsung cepat.

"Beberapa kebijakan memang sangat longgar. Asing bisa masuk dimana saja sampai ke desa-desa termasuk melalui bursa untuk masuk di bank BUMN," tambah Erwin.

Sementara itu, Wakil Ketua BPP HIPMI Silmy Karim mengingatkan penguasaan asing yang berlebihan ini membuat berbagai upaya menurunkan kredit lewat kebijakan dan komitmen berlangsung tidak efektif.

"Sebagai contoh, komitmen 14 bank ternyata tidak efektif, sebab kembali lagi siapa menguasai mekanisme pasar perbankan nasional," tegas Silmy.

Dia menilai, sejumlah kebijakan disektor keuangan nasional tidak rasional.

Pasalnya, kata Silmy, disaat Indonesia tidak membatasi kepemilikan asing disektor perbankan, negara-negara lain justru membatasi.

"Pada sisi lain, asas reciprocal tidak diterapkan. Kita sendiri susah buka ATM di luar negeri, sedangkan bank asing boleh sampai sampai ke kampung-kampung," tambah Silmy.

Erwin menambahkan, lemahnya penguasaan pemerintah dan investor lokal atas sektor keuangan membuat akselerasi pembangunan dan pertumbuhan berjalan lamban. Ke depan, kondisi ini dapat berbahaya bagi ketahanan nasional.

Saat ini, bunga bank masih berada di atas 10 persen bahkan bunga kredit konsumsi dan UMKM masih dikisaran 16 persen.

Faktor ini membuat pelaku UMKM dan pengusaha masih berpikir panjang memperoleh pinjaman.

(ANT/S026)