Jambi (ANTARA News) - Tiga lagi gajah Sumatra (elephas maximus Sumatranus) mati, ini kali di lokasi rencana hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Tebo, Jambi, dan diduga dibunuh oleh manusia.

"Dugaan dan dari analisa sementara, kematian tiga ekor gajah itu akibat dibunuh dengan cara diracun karena dianggap menganggu tanaman sawit masyarakat setempat," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Didy Wurjanto, di Jambi, Rabu.

Sedikitnya tiga tengkorak gajah Sumatra ditemukan di areal rencana HTI di Kecamatan Serai Serumpun, Kabupaten Tebo. Tengkorak tersebut ditemukan di dua tempat terpisah, yaitu di pertemuan Sungai Lalo dan di Sungai Pinang Belai dengan jarak sekitar 600 meter.

Tengkorak gajah itu ditemukan saat tim gabungan BKSDA Jambi dan Wildlife Protection Unit-Frankfurt Zoological Society (WPU-FZS) melakukan melakukan patroli dan survei distribusi gajah di wilayah tersebut.

Kepala BKSDA Jambi menjelaskan, kematian gajah itu berkaitan erat dengan konflik manusia dengan gajah di sekitar habitatnya sejak beberapa tahun terakhir.

Kawasan yang akan dijadikan HTI tersebut sebenarnya merupakan bagian dari habitat gajah, sekarang sebagian telah berubah menjadi kebun sawit. Gajah pun memakan tanaman sawit karena makanan pokoknya sudah tidak didapati lagi.

Menurut dia, tanaman sawit masyatakat ini muncul karena perusahaan yang akan membuka HTI membawa masyarakat untuk dijadikan petani plasma, tanpa disadari mereka talah merusak habitat gajah.

Gajah merupakan hewan tradisional, mereka setiap tahun akan melintasi jalur yang sama manakala akan mencari makan, terutama antara Tebo hingga Indragiri Hulu (Provnsi Riau) di tepi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) yang datarannya rendah.

"Karena daerah lintasannya telah berubah menjadi kebun sawit, gajah-gajah itu terpecah, sebagian masuk ke kebun sawit masyarakat dan merusaknya," kata Didy.

Oleh karena itu, agar hewan bertubuh besar itu tidak terganggu kehidupannya, perusahaan yang akan membuka HTI tidak mengambil seluruh areal berjalan gajah.

"Pemerintah seharusnya juga membatasi agar perusahaan tidak seenaknya membuka areal hutan yang sebenarnya merupakan habitat atau lintasan gajah," ujar Didy yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.

Menurut dia, tiga gajah yang mati dan tengkoraknya ditemukan tergeletak di atas tanah berlumpur itu, diduga merupakan gajah dewasa.

Sebagai tindak lanjut atas rusaknya kebun sawit masyarakat oleh amukan kawanan gajah di wilayah Tebo itu, ia menyarankan kebun yang rusak sebaiknya dibiarkan saja, dan jangan lagi ditanami atau diganggu.

Pihak BKSDA bekerja sama dengan LSM akan mencari sponsor untuk menjadikan daerah itu sebagai kawasan ekowisata, misalnya tur gajah, mendirikan Pusat Latihan Gajah (PLG) untuk melatih gajah yang digunakan untuk menangkap gajah untuk dididik di PLG.

"Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan manfaatnya dengan ekowisata itu," katanya.

Didy mensinyalir perusahaan-perusahaan yang akan membuka HTI itu justru merugikan masyarakat, sebab areal mereka dibatasi dengan saluran (got) selebar empat meter dan dalam sehingga gajah-gajah tidak bisa masuk areal perusahaan.

"Kebun masyarakat berada di pinggirannya dan terus menjadi sasaran amukan hewan bertubuh besar yang dilindungi undang-undang ini," katanya.

Koordinator WPU-FZS Peni Widyaningsih menjelaskan, lokasi penemuan tengkorak gajah itu tepat berada di hutan produksi yang telah dialokasikan pemerintah untuk dijadikan HTI oleh PT Lestari Asri Jaya seluas 61.000 hektare lebih.

Tidak jauh dari lokasi penemuan tengkorak gajah, juga terdapat areal perkebunan kelapa sawit PT Reganas.

Sebelumnya, kata Peni, pada pertengahan Mei 2008 tim patroli FZS juga menemukan tiga bangkai gajah yang telah dibakar, beberapa bulan berikutnya ditemukan pula seekor bayi gajah yang keracunan pupuk dan kemudian mati di parit perkebunan kelapa sawit.

"Konflik gajah dengan manusia di Tebo mulai marak seiring perubahan fungsi hutan menjadi areal perkebunan dan pembangunan HTI secara besar-besaran," katanya.

(T.E003/M008/S026)