Jakarta (ANTARA News) - Penyair Taufik Ismail membela UU Penodaan Agama dengan membacakan puisi saat dimintakan keterangan sebagai ahli bidang budaya oleh pihak Mahkamah Konstitusi.

"Saya ingin membaca puisi," kata Taufik sebelum memulai memberi keterangan dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama Nomor 1/PNPS/1965 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu.

Puisi sepanjang 15 menit tersebut pada intinya mengisahkan tentang sebuah desa yang indah dan terletak di tebing jurang sehingga harus dibatasi oleh pagar antara lain agar anak-anak tidak jatuh ke dalam jurang.

Namun, pada suatu hari sekelompok warga desa menginginkan agar pagar tersebut dicabut karena itu membatasi kebebasan mereka sebagai orang dewasa.

Kelompok warga yang ingin mencabut pagar tersebut berdalih bahwa mereka menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya.

Lagi pula, menurut kelompok itu, tubuh mereka adalah milik mereka sendiri sehingga seharusnya tidak boleh ada yang membatasi seperti pagar di tebing jurang.

Setelah membacakan puisi, Ketua Mahkamah Konstitusi menanyakan kepada Taufik untuk memastikan apakah yang dimaksud dengan "pagar" dalam puisi tersebut adalah UU Penodaan Agama.

"Ya," kata Taufik.

Ahli lainnya dalam bidang budaya yang dihadirkan oleh pihak MK adalah sineas dan pembuat film Garin Nugroho.

Menurut Garin, UU Penodaan Agama tidak sesuai dengan agenda pluralisme yang telah mengakar di Tanah Air seperti konsep Bhineka Tunggal Ika.

Ia juga memaparkan, bila UU tersebut dipertahankan maka berpotensi untuk menghasilkan berbagai reaksi sosial antara lain terdapatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Garin mengingatkan, UU bukan hanya sebuah teks tertulis tetapi juga harus memperhatikan unsur-unsur dari kebudayaan di mana UU itu diberlakukan.(M040/A024)