Jakarta (ANTARA) - Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban berharap proses judicial review (uji materi) omnibus law UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memberikan jalan keluar terbaik demi keadilan bagi para pekerja dan semua masyarakat.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi webinar yang dihelat Indonesian Public Institute (IPI) bertema: "Pro Kontra Omnibus Law, Kepentingan Siapa?", Jumat.
Diskusi itu diawali prakata oleh Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo, kemudian paparan materi empat pembicara, yakni Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban, Wakil Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Kadin/Kabid Fiskal Perbankan dan Asuransi SOKSI Irvan Rahardjo, pengamat sosial politik, intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, dan aktivis mahasiswa Abdi Maulana.
Elly menegaskan KSBSI sudah tegas menolak Omnibus Law UU Ciptaker, namun dengan cara-cara yang baik, termasuk meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan perppu untuk membatalkannya begitu UU Cipta Kerja disahkan.
"Saat ini pun, kita para buruh sudah siapkan materi 'judicial review' ke MK. Itu kami lakukan karena banyak kepentingan kami tidak diakomodir dalam UU Cipta Kerja," jelasnya.
Baca juga: Menkominfo: UU Cipta Kerja jadi payung hukum transformasi digital
Baca juga: Junimart Girsang: Kritik UU Ciptaker dengan elegan dan demokratis
Baca juga: Kapolres Jaksel basah kuyup kawal mahasiswa bubarkan diri usai aksi
Hanya saja, Elly tidak menampik dalam aksi demo buruh tolak omnibus law kemungkinan ada yang mencuri panggung dan ingin dikenal di depan oleh masyarakat, padahal kalau memang tulus menolak mestinya fokus pada apa yang menjadi penolakan itu.
Sedangkan tujuan serikat pekerja menolak omnibus law, lanjut dia, adalah agar nasib buruh benar-benar diperhatikan dan harkat martabat buruh di Indonesia bisa diangkat.
"Demonstrasi kami para buruh tidak sampai mendesak Pak Jokowi mundur. Saya menjamin demo dari para buruh tidak sampai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran. Kami garansi tak ada bagian kami melakukan itu. Bahkan, kami tak ada menyampaikan statement yang provokatif," tegas Elly.
Pengamat sosial politik, intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta menyayangkan aksi unjuk rasa para buruh dan mahasiswa yang sejatinya dijamin UU justru diwarnai kekerasan ataupun serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum.
Stanislaus menduga terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum sudah direncanakan, terlihat dari temuan adanya orang-orang yang menyusup dalam kelompok buruh dan mahasiswa dengan membawa peralatan seperti besi panjang, batu, bahkan molotov.
"Alat-alat tersebut dibawa tentu saja bukan untuk mendukung penolakan UU Cipta Kerja tetapi untuk menciptakan kondisi kacau dan rusuh, dan mengarah kepada delegitimasi pemerintah," jelasnya.
Stanislaus menyebut ada tiga kelompok dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, yakni kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang tujuan utamanya murni mengkritisi UU Cipta Kerja.
Kelompok kedua adalah para pengikut, pengejar eksistensi, korban propaganda hoaks di media sosial yang didominasi oleh remaja-remaja yang nyaris sebagian besar tidak paham konten UU Cipta Kerja.
"Kelompok kedua ini mudah diprovokasi untuk menyerang aparat," lanjutnya.
Adapun kelompok ketiga, Stanislaus menyebut mereka sebagai para penumpang gelap yang menumpang isu penolakan UU Cipta Kerja untuk kepentingannya sendiri atau kelompok.
Aksi yang dilakukan kelompok jenis ketiga, kata dia, menjurus pada kekerasan dan perusakan, sedangkan narasi yang disampaikan melenceng dari UU Cipta Kerja, misalnya narasi melengserkan Presiden atau sentimen terhadap etnis tertentu.
"Bukti dari adanya kelompok ketiga ini adalah adanya penangkapan oleh Polri terhadap para pelaku, yang bukan berasal dari komponen buruh dan mahasiswa," jelas Stanislaus.
KSBSI berharap judicial review UU Ciptaker beri jalan keluar terbaik
16 Oktober 2020 20:14 WIB
KSBSI (Doc)
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020
Tags: