Laporan WALHI: Ada potensi Indonesia habiskan sisa anggaran karbon
14 Oktober 2020 18:29 WIB
Tangkapan layar proyeksi emisi gas rumah kaca Indonesia yang dilakukan oleh WALHI dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (14/10/2020) (ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) - Target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia harus ditingkatkan untuk merefleksikan situasi sain terkini melihat adanya potensi Indonesia dapat menghabiskan sisa anggaran karbonnya, menurut "Analisis Kesenjangan Kebijakan Iklim" yang disusun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
"Skenario Proyeksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) menengah dan tinggi yang di-outline oleh Bappenas akan menghabiskan 12 persen dan 14 persen masing-masing dari total anggaran karbon dunia pada 2045," kata Defrio Nandi Wardhana, salah satu tim penulis analisis WALHI, dalam diskusi virtual di Jakarta pada Rabu.
Kesimpulan itu didapat dengan berdasarkan estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) PBB tentang anggaran karbon global yang tersia dari awal 2018 untuk bisa menjaga pemanasan suhu bumi di bawah target 1,5 derajat Celcius.
Estimasinya adalah 420 gigaton gabungan seluruh emisi GRK atau ekuivalen karbon dioksida (GtCO2) untuk 66 persen peluang atau 580 GtCO2 untuk 50 persen peluang.
Dari kedua skenario PRK itu, laporan tersebut memperkirakan Indonesia akan menghabiskan sisa anggaran karbonnya pada 2027. Hal itu berdasarkan estimasi bahwa Indonesia sampai dengan akhir abad ini memiliki anggaran karbon 14,8 GtCO2 untuk 66 persen peluang atau 20,5 GtCO2 untuk 50 persen peluang atau sekitar 3,5 persen dari sisa anggaran karbon dunia.
Menurut laporan Bappenas "Pembangunan Rendah Karbon: Pergeseran Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia" pada 2019, PRK menengah yaitu menerapkan kebijakan pembangunan rendah karbon 2020-2045 dan mencapai target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dari business as usual (BAU) pada 2030.
Baca juga: Kekhawatiran generasi muda dan komitmen Indonesia terkait krisis iklim
Baca juga: Peningkatan kapasitas SDM jadi keharusan demi aksi iklim yang ambisius
Sedangkan target PRK tinggi adalah kebijakan lebih ambisius dari PRK menengah untuk 2020-2045 yang konsisten dengan upaya mencapai target kondisional NDC Indonesia yaitu 41 persen dengan bantuan internasional.
Melihat kenyataan tersebut, WALHI mendorong agar Indonesia meningkatkan target NDC yang jauh lebih ambisius karena jika tidak menaikkannya pada 2030 maka akan menyulitkan penurunan emisi GRK ke depannya.
"Karena anggaran karbon akan semakin habis, jadi kita merekomendasikan agar Indonesia meningkatkan dan menyampaikan target NDC yang baru yang jauh lebih ambisius yang merefleksikan situasi sains terkini," tegasnya.
Komitmen yang lebih besar itu juga digaungkan oleh pakar meteorologi dan klimatologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prof. Dr. Edvin Aldrian yang menjadi penanggap dalam diskusi itu.
Menurut Edvin, Indonesia perlu mengarusutamakan usaha mencegah perubahan iklim yang dapat memastikan masa depan untuk generasi berikutnya.
"Dunia membutuhkan tiga kali komitmen bersama untuk mencapai 1,5 derajat Celcius," kata Working Group Vice Chair di IPCC itu.
Baca juga: KLHK: Pencegahan karhutla gambut berperan signifikan turunkan emisi
Baca juga: Tren emisi GRK Indonesia fluktuatif meningkat sejak 2000
"Skenario Proyeksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) menengah dan tinggi yang di-outline oleh Bappenas akan menghabiskan 12 persen dan 14 persen masing-masing dari total anggaran karbon dunia pada 2045," kata Defrio Nandi Wardhana, salah satu tim penulis analisis WALHI, dalam diskusi virtual di Jakarta pada Rabu.
Kesimpulan itu didapat dengan berdasarkan estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) PBB tentang anggaran karbon global yang tersia dari awal 2018 untuk bisa menjaga pemanasan suhu bumi di bawah target 1,5 derajat Celcius.
Estimasinya adalah 420 gigaton gabungan seluruh emisi GRK atau ekuivalen karbon dioksida (GtCO2) untuk 66 persen peluang atau 580 GtCO2 untuk 50 persen peluang.
Dari kedua skenario PRK itu, laporan tersebut memperkirakan Indonesia akan menghabiskan sisa anggaran karbonnya pada 2027. Hal itu berdasarkan estimasi bahwa Indonesia sampai dengan akhir abad ini memiliki anggaran karbon 14,8 GtCO2 untuk 66 persen peluang atau 20,5 GtCO2 untuk 50 persen peluang atau sekitar 3,5 persen dari sisa anggaran karbon dunia.
Menurut laporan Bappenas "Pembangunan Rendah Karbon: Pergeseran Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia" pada 2019, PRK menengah yaitu menerapkan kebijakan pembangunan rendah karbon 2020-2045 dan mencapai target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dari business as usual (BAU) pada 2030.
Baca juga: Kekhawatiran generasi muda dan komitmen Indonesia terkait krisis iklim
Baca juga: Peningkatan kapasitas SDM jadi keharusan demi aksi iklim yang ambisius
Sedangkan target PRK tinggi adalah kebijakan lebih ambisius dari PRK menengah untuk 2020-2045 yang konsisten dengan upaya mencapai target kondisional NDC Indonesia yaitu 41 persen dengan bantuan internasional.
Melihat kenyataan tersebut, WALHI mendorong agar Indonesia meningkatkan target NDC yang jauh lebih ambisius karena jika tidak menaikkannya pada 2030 maka akan menyulitkan penurunan emisi GRK ke depannya.
"Karena anggaran karbon akan semakin habis, jadi kita merekomendasikan agar Indonesia meningkatkan dan menyampaikan target NDC yang baru yang jauh lebih ambisius yang merefleksikan situasi sains terkini," tegasnya.
Komitmen yang lebih besar itu juga digaungkan oleh pakar meteorologi dan klimatologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prof. Dr. Edvin Aldrian yang menjadi penanggap dalam diskusi itu.
Menurut Edvin, Indonesia perlu mengarusutamakan usaha mencegah perubahan iklim yang dapat memastikan masa depan untuk generasi berikutnya.
"Dunia membutuhkan tiga kali komitmen bersama untuk mencapai 1,5 derajat Celcius," kata Working Group Vice Chair di IPCC itu.
Baca juga: KLHK: Pencegahan karhutla gambut berperan signifikan turunkan emisi
Baca juga: Tren emisi GRK Indonesia fluktuatif meningkat sejak 2000
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020
Tags: