Jakarta (ANTARA) - Survei tentang kesehatan jiwa yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan 68 persen masyarakat yang melakukan swaperiksa masalah psikologis di laman resmi PDKSJI mengalami gangguan kesehatan jiwa.

"Sejak Maret sampai Oktober 2020 sudah sebanyak 5.661 orang dari 31 provinsi yang melakukan swaperiksa di web PDSKJI. Dari 5.661 orang yang melakukan swaperiksa 68 persen mengalami masalah kejiwaan dan masalah psikologis. Sedangkan 32 persennya tidak mengalami masalah psikologis," kata Ketua Umum PDSKJI dr Diah Setia Utami Sp.KJ, MARS dalam telekonfrensi bersama media yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Diah menerangkan instrumen yang digunakan dalam pemeriksaan mandiri tentang masalah psikologis dan kejiwaan tersebut yang sudah tervalidasi dan biasa digunakan secara internasional.

Baca juga: Dokter jiwa: Anak-anak rentan alami gangguan psikologis selama pandemi

Sebanyak 67,4 persen masyarakat mengalami gejala cemas dan paling banyak terjadi pada kelompok usia di bawah 30 tahun. Sedangkan 67,3 persen masyarakat yang melakukan swaperiksa juga mengalami depresi selama masa pandemi COVID-19.

"Dari 67,3 persen yang mengalami depresi, 48 persennya berpikir untuk memilih mati atau ingin melukai diri dengan cara apapun. Ini sudah masuk kategori gangguan jiwa sedang menuju berat karena sudah ada pikiran bunuh diri atau melukai orang lain," kata Diah.

Selain itu 74,2 persen orang yang melakukan swaperiksa mengalami gejala trauma psikologis yang lagi-lagi paling banyak dialami oleh kelompok masyarakat dengan usia di bawah 30 tahun. Trauma yang dialami yaitu merasakan waspada secara terus menerus, merasa sendirian, atau merasa terisolasi selama pandemi COVID-19.

Baca juga: Diduga stres, seorang ODP kabur dari rumahnya

Menurut Diah, kondisi kesehatan jiwa masyarakat di masa pendemi COVID-19 memang banyak yang mengalami gangguan karena dampak dari pandemi.

"Bayangkan ada yang orang tuanya meninggal sekaligus hampir bersamaan waktunya, dan tidak ada anak-anaknya yang bisa melihat dan mengantar ke kubur. Masalah lainnya keributan rumah tangga, masalah ekonomi yang menimbulkan perceraian dan lain-lain," jelas Diah.

Diah mengatakan tren peningkatan gangguan kesehatan jiwa ini perlu ditindaklanjuti agar tidak menyebabkan gangguan yang lebih parah. Menurutnya, tenaga profesional dan pemerintah harus melakukan edukasi pada masyarakat untuk memeriksakan diri kesehatan jiwanya, dilakukan pendampingan, dan juga bisa mendapatkan akses layanan kesehatan jiwa yang mudah dan aman.

Baca juga: Studi: Sepertiga pasien COVID-19 di AS alami perubahan kondisi mental
Baca juga: Jabar luncurkan "KJOL" untuk antisipasi masalah kejiwaan saat pandemi