Denpasar (ANTARA News) - Adegan yang berbau asmara atau yang ada kaitannya dengan masalah seksual, umumnya dilakukan orang secara sembunyi-sembunyi, bahkan mungkin di tempat yang cukup terpencil dan gelap.
Namun, berbeda halnya dengan puluhan muda-mudi penduduk Banjar (Dusun) Kaja, Sesetan, Denpasar. Mereka justru saling rangkul dan peluk cium dengan lawan jenis di jalanan umum dan disaksikan orang banyak, pada Rabu (17/3) sore.
Sedikitnya 100 perjaka dan perawan warga Banjar Kaja, tampak ambil bagian dalam tradisi peluk cium yang diberi nama Omed Omedan, di bagian ruas Jalan Raya Sesetan, di balik bayang sinar mentari yang telah condong ke barat.
Tradisi yang digelar setiap tahun, yakni sehari setelah umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi, tidak saja dibanjiri ratusan penonton dari sejumlah daerah Pulau Dewata, tetapi juga para turis mancanegara.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, mungkinkah tradisi itu bisa langgeng setelah UU Anti-Pornografi diundangkan?
Beberapa pemerhati budaya di Bali khawatir kalau "Omed-omedan" juga dianggap sesuatu yang porno, sehingga nantinya harus dijerat hukum dan dinyatakan terlarang.
Pande Wayan Sutedja Neka, budayawan yang juga perintis berdirinya museum seni rupa swasta pertama di Indonesia, mengaku khawatir kalau UU Pornografi yang telah diundangkan dapat "menyeret" beberapa warisan budaya dan unsur seni lainnya yang tumbuh di Bali.
Senada dengan Pande, Made Wianta, perupa kenamaan yang kerap melanglang buana ke sejumlah negara mengaku cemas bila UU yang sempat menjadi "buah bibir" itu tiba-tiba dijadikan senjata untuk memberangus nilai-nilai tradisi yang diwariskan nenek moyang.
Omed Omedan, kata dia, merupakan warisan nenek moyang yang harus diteruskan oleh masyarakat yang bermukim di kawasan Banjar Kaja, Denpasar, di mana kegiatan tersebut dilakukan.
"Di satu sisi harus diteruskan, di sisi lain nantinya akan dijerat undang-undang. Apa kemudian jadinya?" kata pelukis yang sempat mewakili Indonesia pada arena Binalle Seni Rupa di Italia itu.
Masalahnya, kata Pande menambahkan, di dalam pertunjukan Omed Omedan, sebagian besar diwarnai adegan peluk-cium yang merupakan "action" yang harus dilakukan peserta.
Mengingat itu, baik Pande maupun Wianta khawatir kalau atraksi yang adalah warisan nenek moyang tersebut nantinya lenyap diberangus aturan yang sempat mendapat penolakan dan perdebatan pro dan kontra itu.
Melihat itu, Wianta mengharapkan jajaran Pemprov dan DPRD Bali dapat membertahankan Omed Omedan yang merupakan budaya warisan lelulur umat di Pulau Dewata.
Pada peristiwa Omed Omedan yang berlangsung cukup semarak sore itu, ternyata mampu menarik minat kunjungan wisatawan baik domestik maupun dari sejumlah negara.
Dengan kamera atau foto tustel yang dibawa, beberapa "bule" tampak berusaha mengambil gambar atas adegan yang cukup langka dan unik tersebut, meski mereka harus turut berdesakan dan sesekali kecipratan air yang disiramkan pihak panitia penyelenggara.
Atraksi yang hanya boleh dilakukan pria dan wanita yang masih berstatus perjaka dan perawan, serta khusus bagi warga dari Banjar Kaja tersebut, dimulai dengan pengelompokan para peserta.
Peserta pria berkelompok dan berbaris di bagian utara jalan, sedang kelompok wanita berderet di selatan jalan, dengan jarak antara atau daerah renggang sekitar 25 meter.
Dari dua arah tersebut, masing-masing kelompok yang sudah mengenakan kaos didominasi warna putih bertuliskan Omed Omedan, mulai saling bergerak dan bertemu di tengah arena, yang di pingir kiri kanannya dipadati penonton dan panitia pengawas "pertandingan".
Saat kedua kelompok saling bertemu itulah, mereka kemudian melakukan adegan peluk cium antarpasangan berlawanan jenis.
Adegan "mesra" tersebut baru terhenti setelah pihak penyelenggara atau pengawas "pertandingan" menyiramkan air ke arena Omed Omedan. Namun demikian, tampak pula ada sejumlah peserta yang bandel, mereka tetap "lengket" meski telah dua sampai tiga ember air disiramkan tepat di atas kepala kedua "pasangan" tersebut.
Sesepuh Puri Sesetan Denpasar I Gusti Ngurah Oka mengatakan, tradisi yang sudah dimulai sejak ratusan tahun silan itu, setiap tahun harus digelar oleh warga di daerahnya.
Pernah acara itu dilarang untuk dilakukan, yakni pada masa jaya-jayanya Orde Baru, ternyata sempat membawa bencana bagi warga di dusun tersebut, baik berupa sakit-sakitan atau musibah lainnya.
"Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan muncul kembali di lingkungan warga kami itulah, Omed Omedan tetap harus diadakan setiap tahun, yakni sehari setelah Hari Suci Nyepi," ucapnya.
Pertanyaannya sekarang, kalau saja UU Pornografi akan dipakai sebagai "senjata" untuk melarang kegiatan itu, tentu akan menjadi permasalahan tersendiri bagi warga setempat.
Seiring dengan itu, tentu akan timbul pertanyaan, bagaimana solusi yang nantinya dapat ditempuh warga Banjar Kaja karena harus menghentikan kegiatan yang sesungguhnya adalah "obat" itu?
Wayan Sunarya, tokoh masyarakat setempat menyatakan, karena kegiatan yang bersifat tradisi itu merupakan keharusan, pihaknya tidak punya solusi atau cara lain sebagai penggantinya.
"Kalau saja dilarang, kami tidak punya cara lain untuk mengganti kegiatan yang sesungguhnya wajib bagi kami lakukan itu," ucapnya menandaskan.
Mengenai peserta yang boleh ambil bagian dalam Omed-omedan, hanyalah remaja yang berusia antara 17 hingga 30 tahun. Itu pun, kata Sunarya, harus mereka yang betul-betul masih berstatus perjaka dan perawan.
"Di luar itu, tidak dibenarkan. Demikian juga penduduk yang berasal dari luar Banjar Kaja, tidak juga boleh ambil bagian, kecuali hanya sekedar hadir untuk menonton," ujar Sunarya. (ANT/A038)
Ketika Peluk-Cium Harus Berlangsung di Jalanan
17 Maret 2010 21:59 WIB
omed omedan (ANTARA/Marboen)
Oleh Yanes Setat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010
Tags: