Jakarta (ANTARA News) - Miranda Swaray Goeltom berusaha untuk tampil menawan. Wanita yang ahli masalah perbankan itu berusaha untuk menjadi yang paling menarik, baik dari sisi pakaian yang ia sandang, visi yang ia usung, dan janji yang ia tawarkan kepada rakyat melalui anggota DPR RI.

Pagi itu, 8 Juni 2004, Miranda mempersiapkan diri untuk "menghadapi" para anggota dewan yang terhormat di Senayan. Miranda akan diseleksi sebagai salah satu calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), sebuah jabatan penting untuk urusan keuangan dan perbankan di negeri ini.

Pada pagi yang sama, namun di tempat terpisah, Nunun Nurbaeti Daradjatun juga tak kalah sibuk. Di kantornya yang berlokasi di kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, wanita ini memikul tanggungjawab terhadap misi khusus dan rahasia.

Dokumen laporan penyelidikan tindak pidana korupsi yang menyebar di kalangan wartawan menyebutkan, kesibukan Nunun itu juga terkait dengan para anggota DPR.

Dokumen itu menyebutkan, pengusaha Nunun Nurbaeti Daradjatun memiliki peran utama dalam mengatur distribusi aliran cek kepada sejumlah anggota DPR RI.

Dana tersebut diduga sebagai suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, sebuah peristiwa pentng yang digelar di gedung DPR RI pagi itu. Dalam pemilihan itu, Miranda mengalahkan dua calon lainnya, yaitu Hartadi A. Sarwono dan Budi Rochadi.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi ketika dikonfirmasi membenarkan bahwa ada dokumen yang disebut sebagai Laporan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi (LPTPK) dalam setiap penanganan kasus di KPK.

"Namanya LPTPK, laporan penyelidikan tindak pidana korupsi," kata Johan.

Menurut Johan, laporan semacam itu ditandatangani oleh Direktur Penyelidikan yang menyatakan suatu kasus siap dinaikkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Laporan internal tersebut biasanya disusun setelah melalui serangkaian gelar perkara.

Ketika dikonfirmasi tentang isi laporan yang beredar di kalangan wartawan, Johan tidak mengetahui dan menolak berkomentar.

Laporan yang beredar di kalangan wartawan itu ditandatangani oleh Direktur Penyelidikan KPK, Iswan Elmi dan Wakil Ketua KPK, Chandra M. Hamzah.

Dalam dokumen itu, Nunun hanya tergambar sebagai otak distribusi cek. Dokumen itu tidak menyebut aktor intelektual yang berinisiatif untuk memberikan cek kepada para anggota DPR dan menyuruh Nunun untuk mengatur distribusi cek tersebut.

Pengacara Nunun, Partahi Sihombing, menolak berkomentar. "Ini bukan waktunya untuk komentar bu Nunun. Belum bergulir ke bu Nunun," katanya.

Partahi yakin, nama kliennya dikait-kaitkan dengan kasus itu. "Nama bu Nunun dibawa-bawa," katanya.


Kronologi

Dokumen itu menyatakan bahwa pada 8 juni 2004 sekira pukul 08.00 WIB sampai pukul 09.00 WIB, PT Bank Artha Graha telah membeli Travellers Cheque (TC) dari PT Bank International Indonesia sebanyak 480 lembar, masing-masing senilai Rp50 juta atau keseleruhan senilai Rp24 miliar.

Pada hari yang sama, Komisi IX DPR RI menggelar pemilihan Deputi Gubernur BI dengan tiga calon, Hartadi A. Sarwono, Budi Rochadi dan Miranda Swaray Goeltom.

"TC sebanyak 480 lembar tersebut sampai ke tangan Nunun N Daradjatun, yaitu isteri Adang Daradjatun, dan juga sebagai direktur PT Wahana Esa Sembada (PT Sembada) dan Pemilik PT Wahana Esa Sejati (PT Sejati)," demikian tertulis dalam dokumen itu.

Kemudian, Nunun meminta salah seorang direktur perusahaannya, Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo untuk membagikan cek itu kepada anggota DPR.

Atas permintaan itu, Arie datang ke ruang kerja Nunun yang berkantor di satu kompleks bangunan dengan Arie di Jalan Riau, Menteng, Jakarta Pusat. Di ruang kerja Nunun telah terdapat empat kantong belanja dari karton yang masing-masing berlabel kuning, merah, hijau, dan putih.

Pada hari itu, Nunun berkata kepada Arie, akan ada anggota dewan yang akan mengambil titipan diruangan Arie. Nunun juga menjelaskan, "semua sudah diatur sehingga Arie tinggal menyerahkan saja."

Tidak berselang lama setelah Arie kembali ke ruangannya, seorang petugas kebersihan kantor membawa tas kantong belanja terbuat dari karton dengan label kuning ke ruangan Arie.

Beberapa saat kemudian, masih menurut dokumen tersebut, anggota DPR dari fraksi Partai Golkar Hamka Yandhu masuk ke ruangan Arie dan mengatakan mau mengambil "titipan Ibu Nunun". Kemudian Arie menyerahkan kantong belanja dengan label kuning kepada Hamka Yandhu.

Pada hari yang sama, Arie menerima telepon dari dua orang yang tidak dikenalnya yang meminta untuk bertemu. Satu orang meminta bertemu di rumah makan Bebek Bali, Senayan, sedangkan yang lain meminta bertemu di lobby hotel Atlet Century Park.

"Setelah mendapatkan telepon tersebut Arie menghubungi Nunun dan Nunun mengatakan kalau begitu sekalian saja semuanya," demikian tertulis dalam dokumen tersebut.

Beberapa saat kemudian, seorang petugas kebersihan kantor masuk ke ruangan Arie dengan membawa tiga kantong belanja dengan masing-masing berlabel merah, hijau dan putih. Pada kantong belanja berlabel merah tertulis "taman ria senayan", kantong berlabel hijau tertulis "hotel atlet century park", sedangkan pada kantong belanja dengan label putih tidak tertulis apa-apa.

Setelah itu, Arie menyerahkan kantong berlabel merah kepada anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan Dudhie Makmun Murod di rumah makan Bebek Bali, dan kepada anggota DPR dari fraksi PPP Endin Soefihara di hotel Atlet Century Park.

Kemudian, Arie kembali ke kantor. Menjelang maghrib, empat Anggota Fraksi TNI/Polri di Komisi IX mendatanginya dan hendak mengambil titipan dari Nunun.

Arie kemudian menyerahkan kantong belanja berlabel putih kepada Udju Djuhaeri, yang setelah itu membagikan isinya kepada Darsup Yusuf, Sulistiadi dan Suyitno. Mereka membuka amplop yang mereka terima yang ternyata berisi masing-masing sepuluh lembar cek.

Dokumen tersebut juga menyatakan, pada akhirnya sedikitnya 39 anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, PPP, TNI/Polri menerima cek serupa.


Diduga menerima

Berdasar dokumen yang sama, ratusan cek itu diterima oleh beberapa orang, sebagian besar adalah anggota DPR.

Rincian aliran cek itu adalah sebanyak 205 lembar senilai Rp10,25 miliar diterima dan atau dicairkan oleh 18 anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.

Berdasar dakwaan Jaksa Penuntunt Umum KPK dalam sidang dengan terdakwa Dudhie Makmun Murod, para politisi PDI Perjuangan yang diduga menerima adalah Williem Tutuarima, Agus Condro Prayitno, Muh. Iqbal, Budiningsih, Poltak Sitorus, Aberson M. Sihaloho, Rusman Lumban Toruan, Max Moein, Jeffrey Tongas Lumban Batu, Engelina A. Pattiasina, Suratal, Ni Luh Mariani Tirtasari, dan Soewarno. Mereka diduga menerima cek senilai Rp500 juta per orang.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan lainnya menerima jumlah yang berbeda, yaitu Sukardjo Hardjosoewirjo (Rp200 juta), Izedrik Emir Moeis (Rp200 juta), Matheos Pormes (Rp350 juta), Sutanto Pranoto (Rp600 juta), dan Panda Nababan yang menerima jumlah paling banyak, yaitu Rp1,45 miliar.

Kemudian sebanyak 40 lembar cek senilai Rp2 miliar diterima dan atau dicairkan oleh empat orang anggota komisi IX dari Fraksi TNI/Polri. Berdasarkan surat dakwaan jaksa KPK, mereka adalah Udju Djuhaeri, Sulistyadi, Darsup Yusuf, dan Suyitno.

Sebanyak 145 lembar senilai Rp7,25 miliar diterima dan atau dicairkan oleh 13 anggota komisi IX dari Fraksi Partai Golkar.

Sebanyak 30 lembar senilai Rp1,5 miliar diterima dan atau dicairkan oleh tiga orang anggota Komisi IX dari Fraksi PPP.

Sampai berita ini diturunkan, belum ada data resmi tentang identitas penerima dari Fraksi Partai Golkar dan PPP.

Kemudian, 20 lembar senilai Rp1 miliar diterima dan atau dicairkan oleh Sumarni, Sekretaris Pribadi Nunun Nurbaeti Daradjatun.

Sedangkan sebanyak 33 lembar sisanya dengan nilai Rp1,65 miliar diterima dan atau dicairkan oleh perorangan yang belum diketahui keterkaitannya dengan anggota dewan yang terhormat. (F008/K004)