Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut sanksi pidana yang tegas menanti jika ada yang berani "bermain-main" di dalam kawasan hutan setelah pemberlakuan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law.

"Jika setelah UU Omnibus Law masih ada yang 'bermain-main' lagi di dalam kawasan, maka akan diterapkan sanksi pidana yang tegas," kata Siti dalam cuitannya di akun resminya @SitiNurbayaLHK diakses dari Jakarta, Sabtu.

Ia mengatakan terkait penyelesaian kebun rakyat dan korporasi dalam kawasan hutan serta belum punya izin (keterlanjuran), sangat tidak benar jika dikatakan UU Omnibus Law memberikannya "cuma-cuma" tanpa ada sanksi apapun.

Faktanya, menurut dia, korporasi yang "terlanjur" berada di dalam kawasan, akan dikenakan sanksi denda atas keterlanjuran "kebijakan masa lalu", dan sanksi denda itu akan menjadi penerimaan negara. Denda paling besar yang memungkinkan, masuk ke kas negara untuk dikembalikan ke rakyat.

Ketentuan itu, ia mengatakan menjadi penting, karena kasus-kasus keterlanjuran yang ditemukan menyangkut hak hidup orang banyak secara turun temurun, dan dibutuhkan kepastian berusaha untuk menjaga stabilitas ekonomi di daerah. "Ingat, ada banyak rakyat yang menggantungkan hidup dari sektor hutan"

"Keterlanjuran harus ditertibkan dengan peraturan yang tegas, terang, dan adil bagi semua pihak. UU Omnibus Law mengakomodir semua hal itu!" ujar Siti.

Sebelumnya pada konferensi pers bersama tentang UU Cipta Kerja di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (7/10), ia mengatakan UU Cipta Kerja sekaligus menjawab dispute UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), tentang masalah penggunaan tanpa izin kehutanan di dalam kawasan hutan.

Ada sinkronisasi norma larangan dalam Pasal 50 UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan Norma larangan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tidak ada norma larangan yang tertinggal, ujar Siti.

Secara khusus UU Omnibus Law juga menegaskan untuk mengatasi masalah yang selama ini selalu ada, yaitu untuk tidak terjadi kriminalisasi dan dapat mengakomodir pelanggaran yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan paling singkat lima tahun secara terus menerus dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana) dengan pertimbangan bahwa masyarakat menetap dan bermukim disana.

Data menunjukkan bahwa lebih dari 20.000 desa ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan, termasuk di antaranya sekitar 6.700 desa di kawasan hutan konservasi. Yang seperti iitu ditegaskannya tidak boleh dipidanakan atau dikriminalisasi.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengatasi masalah yang sudah cukup panjang sejak desentralisasi big bang di mana izin-izin kebun sesuai dengan UU Pemda (1999 dan 2004) diberikan oleh Kabupaten dan ternyata berada dalam kawasan hutan tanpa izin, sehingga menjadi terlanjur.

Penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang memiliki perizinan (dispute tata ruang) dengan pengaturan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak undang-undang tersebut berlaku.

Jika setelah lewat tiga tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut tidak menyelesaikan persyaratan, dikenai sanksi administratif, berupa pembayaran denda administatif, dan atau pencabutan izin. Pengaturan ketentuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Baca juga: Wali Kota Surakarta: Kepala daerah harus mampu mengelola aspirasi

Baca juga: MPR: Harus ada lembaga jadi tempat dialog atasi persoalan

Baca juga: Bamsoet: Ekspresi kebebasan berpendapat harus bertanggung jawab