Epidemiolog: Pembukaan ponpes di DIY semestinya berpedoman warna zona
9 Oktober 2020 14:36 WIB
Petugas Biddokkes Polda DIY mengambil sampel darah sejumlah santri saat tes diagnostik cepat (rapid test) COVID-19 di Pondok Pesantren Ora Aji, Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (4/7/2020). Rapid test di Pondok Pesantren Ora Aji milik Gus Miftah untuk santri yang baru saja tiba dari luar kota tersebut sebagai upaya meminimalisir penularan COVID-19 dilingkungan pesantren. (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/hp)
Yogyakarta (ANTARA) - Ahli Epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dr Riris Andono Ahmad menilai pembukaan pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta semestinya berpedoman pada warna zona penularan COVID-19 yang telah ditetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
"Kalau mau konsisten terhadap aturan misalnya zona yang ditetapkan BNPB kan sudah jelas, sekolah dibuka apalagi yang sifatnya asrama itu kan pada zona hijau, dan pada kenyataannya DIY sudah sekian lama tidak zona hijau," kata Riris Andono di Yogyakarta, Jumat.
Menurut Riris Andono, tidak ada yang dapat memastikan sepenuhnya protokol kesehatan diterapkan secara ketat di pesantren atau asrama dalam situasi zona yang belum hijau. Apalagi, dalam satu kamar biasanya diisi beberapa santri.
Baca juga: Satgas : Klaster penularan COVID-19 di Papua Barat terus meluas
"Kemudian siapa yang bisa menjamin tidak ada kontak dengan dunia luar sama sekali," kata dia.
Menurut dia, situasi penularan COVID-19 di DIY cenderung fluktuatif dan masih berkutat di antara tiga warna zona yakni kuning, oranye, dan merah.
"Artinya situasi ini kan sangat fluktuatif, tergantung dinamika masyarakatnya. Kalau virusnya tidak bisa apa-apa, tergantung mobilitas manusianya," kata dia.
Oleh sebab itu, menurutnya, mobilitas masyarakat tetap perlu dikendalikan. Dengan mengizinkan pelonggaran mobilitas masyarakat, menurut dia, sama saja dengan membuka peluang transmisi muncul.
Baca juga: IDI: Klaster demo akan picu lonjakan COVID-19
Sebelumnya, kasus COVID-19 muncul di sejumlah pondok pesantren di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga Sabtu (3/10), tercatat 105 orang yang dinyatakan positif COVID-19 dari tiga pondok pesantren di Sleman.
Kepala Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag DIY Bukhori Muslim mengatakan dengan munculnya kasus penularan COVID-19 di pesantren, seluruh pengasuh ponpes di DIY kembali mengevaluasi penerapan protokol kesehatan dan meninjau ulang sistem pembelajaran yang terbaik untuk diterapkan.
Bukhori mengakui kegiatan di pondok pesantren di DIY memang sudah diperbolehkan dengan catatan mampu menerapkan protokol kesehatan.
Santri diperkenankan kembali ke ponpes secara bertahap, mulai dari yang berdomisili di wilayah DIY. Sedangkan santri dari zona merah belum diizinkan kembali ke pesantren.
Kamar yang biasanya diisi empat orang menjadi dibatasi dua orang. Sebelum kembali ke pesantren, santri juga diminta karantina mandiri di rumah masing-masing selama 14 hari.
"Dulu kami sudah membuat edaran, tetapi dengan kasus kemarin kami buat edaran lagi, intinya agar lebih memperketat lagi protokol kesehatan," kata dia.
Baca juga: Epidemiolog UGM: Karantina mandiri cegah klaster COVID-19 di pesantren
Baca juga: Jawa Tengah menggiatkan Jogo Santri untuk cegah penularan COVID-19
Baca juga: Dinkes Tasikmalaya periksa seratusan santri untuk mendeteksi COVID-19
"Kalau mau konsisten terhadap aturan misalnya zona yang ditetapkan BNPB kan sudah jelas, sekolah dibuka apalagi yang sifatnya asrama itu kan pada zona hijau, dan pada kenyataannya DIY sudah sekian lama tidak zona hijau," kata Riris Andono di Yogyakarta, Jumat.
Menurut Riris Andono, tidak ada yang dapat memastikan sepenuhnya protokol kesehatan diterapkan secara ketat di pesantren atau asrama dalam situasi zona yang belum hijau. Apalagi, dalam satu kamar biasanya diisi beberapa santri.
Baca juga: Satgas : Klaster penularan COVID-19 di Papua Barat terus meluas
"Kemudian siapa yang bisa menjamin tidak ada kontak dengan dunia luar sama sekali," kata dia.
Menurut dia, situasi penularan COVID-19 di DIY cenderung fluktuatif dan masih berkutat di antara tiga warna zona yakni kuning, oranye, dan merah.
"Artinya situasi ini kan sangat fluktuatif, tergantung dinamika masyarakatnya. Kalau virusnya tidak bisa apa-apa, tergantung mobilitas manusianya," kata dia.
Oleh sebab itu, menurutnya, mobilitas masyarakat tetap perlu dikendalikan. Dengan mengizinkan pelonggaran mobilitas masyarakat, menurut dia, sama saja dengan membuka peluang transmisi muncul.
Baca juga: IDI: Klaster demo akan picu lonjakan COVID-19
Sebelumnya, kasus COVID-19 muncul di sejumlah pondok pesantren di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga Sabtu (3/10), tercatat 105 orang yang dinyatakan positif COVID-19 dari tiga pondok pesantren di Sleman.
Kepala Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag DIY Bukhori Muslim mengatakan dengan munculnya kasus penularan COVID-19 di pesantren, seluruh pengasuh ponpes di DIY kembali mengevaluasi penerapan protokol kesehatan dan meninjau ulang sistem pembelajaran yang terbaik untuk diterapkan.
Bukhori mengakui kegiatan di pondok pesantren di DIY memang sudah diperbolehkan dengan catatan mampu menerapkan protokol kesehatan.
Santri diperkenankan kembali ke ponpes secara bertahap, mulai dari yang berdomisili di wilayah DIY. Sedangkan santri dari zona merah belum diizinkan kembali ke pesantren.
Kamar yang biasanya diisi empat orang menjadi dibatasi dua orang. Sebelum kembali ke pesantren, santri juga diminta karantina mandiri di rumah masing-masing selama 14 hari.
"Dulu kami sudah membuat edaran, tetapi dengan kasus kemarin kami buat edaran lagi, intinya agar lebih memperketat lagi protokol kesehatan," kata dia.
Baca juga: Epidemiolog UGM: Karantina mandiri cegah klaster COVID-19 di pesantren
Baca juga: Jawa Tengah menggiatkan Jogo Santri untuk cegah penularan COVID-19
Baca juga: Dinkes Tasikmalaya periksa seratusan santri untuk mendeteksi COVID-19
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: