Peneliti LIPI: Pasal 66 UU Cipta Kerja melanggengkan sistem alih daya
7 Oktober 2020 18:32 WIB
Massa dari aktivis mahasiswa, buruh dan masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). Aksi tersebut menolak pengesahan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI karena dinilai sudah menciderai hak-hak buruh. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/foc.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati mengatakan bahwa Pasal 66 Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja akan melanggengkan sistem kerja alih daya.
Fildzah mengatakan penerapan sistem kerja alih daya (outsourcing) sebelumnya dibatasi dengan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
"Tapi di RUU Cipta Kerja tidak ada lagi pengaturan (batas) seperti itu. Jadi artinya di UU 13/2003 saja yang ada peraturan tidak boleh di inti kegiatan (core) produksi masih banyak dilanggar, sistem kerja outsourcing ini diterapkan di semua lini, apalagi kalau di RUU Cipta Kerja ini, outsourcing atau alih daya itu tidak ditetapkan atau boleh dimana saja, begitu. Jadi benar-benar dilanggengkan," kata Fildzah saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Menko Airlangga: Upah minimum pekerja tidak dihapus dalam UU Ciptaker
Ia mengatakan adanya konsekuensi tersebut berdasarkan draf terakhir RUU Cipta Kerja yang diterimanya pada 5 Oktober 2020.
Kendati demikian, menurut Fildzah, konsekuensi demikian menjadi logis, mengingat RUU Cipta Kerja memiliki ruh untuk menciptakan iklim investasi yang ramah investor agar terciptanya lapangan kerja.
"Logika UU itu memang adalah untuk menciptakan iklim yang ramah investasi. Nah, konsekuensi logis dari penciptaan iklim yang ramah investasi itu kan ada beberapa hal: Pertama, mempermudah izin investasi, misalnya mempermudah prosedur-prosedur seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan lain-lain. Kedua, mengurangi biaya tenaga kerja tadi," kata Fildzah.
Baca juga: Pengamat sebut UU Cipta Kerja jamin kepastian hukum bagi tenaga kerja
Baca juga: Peneliti LIPI: UU Cipta Kerja atur skema pekerja yang lebih produktif
Fildzah mengatakan penerapan sistem kerja alih daya (outsourcing) sebelumnya dibatasi dengan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
"Tapi di RUU Cipta Kerja tidak ada lagi pengaturan (batas) seperti itu. Jadi artinya di UU 13/2003 saja yang ada peraturan tidak boleh di inti kegiatan (core) produksi masih banyak dilanggar, sistem kerja outsourcing ini diterapkan di semua lini, apalagi kalau di RUU Cipta Kerja ini, outsourcing atau alih daya itu tidak ditetapkan atau boleh dimana saja, begitu. Jadi benar-benar dilanggengkan," kata Fildzah saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Menko Airlangga: Upah minimum pekerja tidak dihapus dalam UU Ciptaker
Ia mengatakan adanya konsekuensi tersebut berdasarkan draf terakhir RUU Cipta Kerja yang diterimanya pada 5 Oktober 2020.
Kendati demikian, menurut Fildzah, konsekuensi demikian menjadi logis, mengingat RUU Cipta Kerja memiliki ruh untuk menciptakan iklim investasi yang ramah investor agar terciptanya lapangan kerja.
"Logika UU itu memang adalah untuk menciptakan iklim yang ramah investasi. Nah, konsekuensi logis dari penciptaan iklim yang ramah investasi itu kan ada beberapa hal: Pertama, mempermudah izin investasi, misalnya mempermudah prosedur-prosedur seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan lain-lain. Kedua, mengurangi biaya tenaga kerja tadi," kata Fildzah.
Baca juga: Pengamat sebut UU Cipta Kerja jamin kepastian hukum bagi tenaga kerja
Baca juga: Peneliti LIPI: UU Cipta Kerja atur skema pekerja yang lebih produktif
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: