Semarang (ANTARA News) - Dewan Redaksi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) se-Indonesia menyatakan penolakan rencana peleburan RRI dengan LPP Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI).

"Rencana peleburan itu tertuang dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) LPP RTRI, padahal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22/2002 tentang Penyiaran pasal 14 ayat 2," kata Ketua Dewan Redaksi LPP RRI Medan, Ferry Tobing di Semarang, Senin (8/3) malam.

Menurut dia, sikap yang tertuang dalam "Deklarasi RRI Sabang Merauke" berisi enam poin itu diperoleh melalui forum diskusi Ketua Dewan Redaksi RRI se-Indonesia yang berlangsung mulai 4 Maret 2010 lalu di Semarang, dan ditandatangani oleh 60 Ketua Dewan Redaksi RRI.

"Peleburan RRI dengan TVRI itu menyalahi fakta kesejarahan RI bahwa RRI merupakan satu-satunya media perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Kalau sampai dilebur dengan TVRI, maka RRI akan kehilangan identitas dan eksistensinya," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak menolak apabila pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ingin menggabungkan dua LPP tersebut, karena penggabungan tidak akan menghilangkan identitas masing-masing LPP.

"Namun, dalam draf RPP LPP RTRI dalam pasal 6 ayat 2 (a) dan (b) menyebutkan pembubaran LPP TVRI dengan LPP RRI, sehingga kami menolak dengan tegas, terlebih lagi itu tidak sesuai dengan isi Piagam 11 September 1945 tentang Sapta Prasetya RRI," katanya.

Senada dengan itu, Ketua Dewan Redaksi LPP RRI Palembang, Muchlis dan Bandar Lampung, Zahral Mutzaini mengatakan, selama ini LPP RRI tidak berada di bawah Kemenkominfo, sehingga LPP RRI menjadi lembaga penyiaran yang bersifat independen, netral, dan tidak komersial.

"Kami khawatir peleburan itu akan `mengebiri` RRI yang semula lembaga penyiaran yang bersifat independen, netral, dan tidak komersial, menjadi lembaga penyiaran yang dapat diatur dan ditata pemerintah sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Orde Baru," kata Muchlis.

Ia menambahkan, pihaknya juga menginginkan pembenahan dalam UU Nomor 22/2002 tentang Penyiaran, sebab dalam UU tersebut hanya dua pasal yang mengatur tentang LPP, yakni pasal 14 dan 15, meskipun sebenarnya ada juga PP Nomor 12/2005 tentang LPP RRI.

"Kami ingin agar rencana peleburan itu dikaji secara lebih mendalam dan mempertimbangkan fakta kesejarahan RRI dengan TVRI. RRI didirikan pada 1945, sedangkan TVRI baru didirikan pada 1963, sehingga fakta kesejarahannya berbeda," katanya Zahral diamini rekan-rekan lainnya.

Selain itu, "Deklarasi RRI Sabang Merauke" juga menyepakati pencalonan tiga nama kalangan internal RRI sebagai Dewan Pengawas RRI periode 2010-2015 menggantikan pengurus sebelumnya yang masa jabatannya hampir berakhir, yakni Gatot Sriyono, Kabul Budiono, dan Nasir Isfa.

Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas RRI selama ini terdiri dari lima orang, yakni tiga orang yang mewakili RRI, satu orang mewakili pemerintah, dan satu orang mewakili publik. (Ant/K004)