Pakar Migas: Restrukturisasi Pertamina bukan "spin off"
7 Oktober 2020 09:17 WIB
Seorang anggota TNI berdiri di dekat deretan truk tangki sebelum melakukan pendistribusian BBM di Integrated Terminal Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Senin (6/7/2020). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum dan kebijakan migas Universitas Padjadjaran Ali Nasir menilai restrukturisasi Pertamina bukan merupakan pemisahan perusahaan atau spin off, namun penguatan anak-anak perusahaan agar dapat bekerja lebih baik dan bergerak lebih optimal.
"Bukan pemisahan. Pertamina membentuk subholding supaya fokus pada bisnis mereka, termasuk di hulu, hilir, dan kilang. Supaya lebih fokus dan bergerak lebih cepat. Kepemilikan saham kan masih Pertamina," ujarnya di Jakarta, Rabu.
Menurut mantan Legal Adviser Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) itu, merujuk definisi pemisahan perusahaan pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka restrukturisasi Pertamina tidak terjadi pemisahan seluruh aktiva dan pasiva BUMN tersebut kepada subholding.
Baca juga: Pertamina restrukturisasi organisasi, hapus Direktorat Gas
Padahal, lanjutnya, sesuai definisi pasal tersebut, yang dimaksud pemisahan perusahaan adalah perbuatan hukum yang dilakukan perseroan untuk memisahkan usaha, yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum, kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.
Kalaupun subholding memiliki aktiva dan pasiva sendiri, tambahnya, adalah wajar, karena sebagai perusahaan baru tentu harus memiliki aset. Selain itu mereka harus mempunyai pembukuan yang wajib dikelola.
"Tetapi yang harus ditegaskan bahwa aktiva dan pasiva bukan beralih dari induknya. Apalagi dalam Laporan Keuangan Pertamina, pembukuan subholding tersebut masuk ke dalam laporan konsolidasi," katanya melalui keterangan tertulis.
Baca juga: Komisi VII minta Nicke restrukturisasi sdm Pertamina
Dengan demikian, menurut Ali, Pertamina sebagai induk holding memang hanya mengelola dan mengawasi anak-anak usahanya, karena secara teknis yang bergerak adalah subholding.
Dalam industri migas dunia, lanjutnya, penguatan seperti yang dilakukan Pertamina sudah jamak ditemui, termasuk di antaranya, Premier Oil di Inggris dan Exxon Mobil di Amerika Serikat.
Exxon Mobil misalnya, meski memiliki beberapa anak usaha, tetapi semua menginduk pada satu perusahaan.
Baca juga: Erick Thohir minta Ahok bangun tim solid dukung transformasi Pertamina
"Pembukuan induk tetap satu. Semua pembukuan dari anak-anak usahanya masuk ke induk semua. Dan seperti yang dilakukan Pertamina, Exxon Mobil dan Premier hanya mengelola dan mengawasi anak-anak usahanya. Banyak oil company seperti itu," katanya.
Terkait hal itu Ali mempertanyakan jika pembentukan subholding Pertamina disebut merugikan keuangan negara, karena, keuntungan yang diperoleh subholding juga akan disetorkan ke Pertamina sebagai induk selanjutnya, perusahaan akan menyetorkan kepada kas negara.
Baca juga: Ahok ajak masyarakat awasi impor minyak Pertamina
"Bukan pemisahan. Pertamina membentuk subholding supaya fokus pada bisnis mereka, termasuk di hulu, hilir, dan kilang. Supaya lebih fokus dan bergerak lebih cepat. Kepemilikan saham kan masih Pertamina," ujarnya di Jakarta, Rabu.
Menurut mantan Legal Adviser Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) itu, merujuk definisi pemisahan perusahaan pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka restrukturisasi Pertamina tidak terjadi pemisahan seluruh aktiva dan pasiva BUMN tersebut kepada subholding.
Baca juga: Pertamina restrukturisasi organisasi, hapus Direktorat Gas
Padahal, lanjutnya, sesuai definisi pasal tersebut, yang dimaksud pemisahan perusahaan adalah perbuatan hukum yang dilakukan perseroan untuk memisahkan usaha, yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum, kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.
Kalaupun subholding memiliki aktiva dan pasiva sendiri, tambahnya, adalah wajar, karena sebagai perusahaan baru tentu harus memiliki aset. Selain itu mereka harus mempunyai pembukuan yang wajib dikelola.
"Tetapi yang harus ditegaskan bahwa aktiva dan pasiva bukan beralih dari induknya. Apalagi dalam Laporan Keuangan Pertamina, pembukuan subholding tersebut masuk ke dalam laporan konsolidasi," katanya melalui keterangan tertulis.
Baca juga: Komisi VII minta Nicke restrukturisasi sdm Pertamina
Dengan demikian, menurut Ali, Pertamina sebagai induk holding memang hanya mengelola dan mengawasi anak-anak usahanya, karena secara teknis yang bergerak adalah subholding.
Dalam industri migas dunia, lanjutnya, penguatan seperti yang dilakukan Pertamina sudah jamak ditemui, termasuk di antaranya, Premier Oil di Inggris dan Exxon Mobil di Amerika Serikat.
Exxon Mobil misalnya, meski memiliki beberapa anak usaha, tetapi semua menginduk pada satu perusahaan.
Baca juga: Erick Thohir minta Ahok bangun tim solid dukung transformasi Pertamina
"Pembukuan induk tetap satu. Semua pembukuan dari anak-anak usahanya masuk ke induk semua. Dan seperti yang dilakukan Pertamina, Exxon Mobil dan Premier hanya mengelola dan mengawasi anak-anak usahanya. Banyak oil company seperti itu," katanya.
Terkait hal itu Ali mempertanyakan jika pembentukan subholding Pertamina disebut merugikan keuangan negara, karena, keuntungan yang diperoleh subholding juga akan disetorkan ke Pertamina sebagai induk selanjutnya, perusahaan akan menyetorkan kepada kas negara.
Baca juga: Ahok ajak masyarakat awasi impor minyak Pertamina
Pewarta: Subagyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020
Tags: