Baghdad (ANTARA News/AFP) - Serangan-serangan bom, mortir dan roket merenggut 38 jiwa dan mencederai 110 orang, Minggu, ketika rakyat Irak memberikan suara dalam pemilihan umum yang diancam disabotase oleh Al-Qaeda, demikian diumumkan kementerian dalam negeri.

Tigapuluh orang tewas dalam serangan-serangan roket dan mortir di dan dekat Baghdad, sementara ledakan-ledakan bom menewaskan delapan orang, kata beberapa pejabat kementerian itu.

Dalam insiden paling mematikan, 25 orang tewas ketika sebuah roket Katyusha menghancurkan sebuah bangunan penduduk di daerah utara ibukota Irak tersebut.

Sebanyak 110 orang cedera dalam serangan-serangan itu, yang dilakukan meski 200.000 polisi dan tentara ditempatkan di Baghdad dan ratusan ribu lagi di penjuru-penjuru lain Irak.

Sementara itu, jutaan orang Irak tetap memberanikan diri berdatangan ke tempat-tempat pemungutan suara untuk memberikan pilihan mereka dalam pemilu itu, yang dipandang sebagai ujian bagi demokrasi muda negara yang dilanda perang itu.

"Kami tidak penduli dengan bom. Rakyat akan memberikan suara," kata Abbas Hussein yang menunjukkan jarinya berbekas tinta ungu, menandakan bahwa ia telah memberikan suara di distrik Sunni-nya di Baghdad.

Presiden AS Barack Obama menghormati "keberanian" penduduk Irak yang "mengabaikan ancaman demi memajukan demokrasi mereka" dengan memberikan suara.

"Saya menghormati jutaan orang Irak yang tidak gentar dengan aksi kekerasan, dan yang melaksanakan hak suara mereka hari ini," kata Obama dalam reaksi pertamanya atas pemilu Irak itu.

Sebuah kelompok Al-Qaeda, yang menganggap pemilu itu sebagai pengesahan atas pemerintah Irak pimpinan Syiah dan pendudukan AS, memperingatkan Jumat bahwa siapa pun yang memberikan suara akan berisiko diserang -- ancaman yang menyoroti situasi keamanan yang sudah tegang.

Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki mengatakan, serangan-serangan itu "hanya kegaduhan yang menggertak pemilih, namun orang Irak adalah rakyat yang menyukai tantangan dan anda akan melihat bahwa hal ini tidak akan merusak semangat mereka".

Kekerasan dan intimidasi memang telah meningkat dalam pekan-pekan menjelang pemilihan parlemen Irak pada 7 Maret, pemilu yang kedua sejak Saddam Hussein digulingkan dari kekuasaan oleh invasi pimpinan AS pada 2003.

Penculikan dan serangan-serangan mematikan beberapa waktu terakhir ini menggarisbawahi rapuhnya keamanan di Irak menjelang pemilu tesebut.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Kekerasan di Irak menurun secara dramatis pada 2009 ke tingkat terendah sejak invasi pimpinan AS pada 2003, namun kelompok pemantau memperingatkan bahwa pencapaian keamanan tetap mendatar.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu bahkan memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Maret.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun ini, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

Dua serangan bom bunuh diri menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak. (M014/K004)