Cilacap (ANTARA News) - Solidaritas Perempuan Tanpa Batas (SPTB) mensinyalir kasus pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita (TKW) marak terjadi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

"Hal ini kami ketahui berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam tiga bulan terakhir di 11 kecamatan di Kabupaten Cilacap," kata Project Director Liason Office "SPTB" Cilacap, Purwanti di Cilacap, Minggu.

Ke-11 kecamatan tersebut, yakni Nusawungu, Binangun, Adipala, Kesugihan, Jeruklegi, Gandrungmangu, Bantarsari, Kampung Laut, Patimuan, Majenang, dan Dayeuhluhur.

Dalam penelitian yang dilakukan bekerja sama dengan Canada Fund, kata Purwanti, SPTB mengambil sampel atau responden 20 orang per kecamatan yang merupakan mantan TKW dan keluarga TKW.

"Kami melakukan wawancara mendalam (depth interview) kepada mantan TKW atau keluarga TKW. Dalam wawancara itu, para mantan TKW menceritakan pengalamannya maupun kondisi rekan-rekannya sesama TKW," katanya.

Sementara bagi TKW yang masih di luar negeri, kata dia, kondisi mereka diketahui berdasarkan keluhan atau pengakuan dari keluarganya.

"Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian tersebut diketahui, mereka tidak menyadari jika sebenarnya telah menjadi korban trafficking atau perdagangan manusia," katanya.

Ia mengatakan, hal itu diketahui dari sejumlah kasus yang muncul, antara lain pemalsuan dan penyanderaan dokumen, kekerasan fisik maupun psikologis, pembayaran gaji, pelecehan seksual, tidak adanya perlindungan hukum bagi tenaga kerja, serta pelanggaran hak kebebasan untuk beribadah.

Menurut dia, kasus pemalsuan dokumen ini berupa identitas diri (usia dan alamat), ijazah, serta izin orang tua maupun suami calon pekerja hingga pemalsuan paspor yang dalam praktiknya melibatkan oknum pejabat pemerintahan.

Selain itu, kata dia, terjadi pula penyanderaan dokumen-dokumen pekerja selama masa kerja yang dilakukan majikan atau perusahaan yang memberangkatkannya.

"Bahkan, kasus-kasus penganiayaan yang kadang menyebabkan korbannya meninggal, sering kali tidak pernah diusut hingga tuntas," katanya.

Ia mengatakan, persoalan ini sering kali disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat mengenai bahaya trafficking maupun sistem kerja yang diterapkan.

Menurut dia, kemiskinan juga turut mendorong terjadinya trafficking karena faktor ini memaksa mereka memilih bekerja di luar negeri demi meningkatkan kesejahteraannya.

Selain itu, kata dia, keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi mendorong mereka untuk bekerja tanpa memikirkan risiko yang akan dihadapi.

"Hal ini juga akibat adanya anggapan yang hingga saat ini masih kental, yakni penghargaan terhadap seseorang dilihat dari status sosial atau kekayaan," katanya.

Menurut dia, masalah lain yang mendorong masyarakat bekerja di luar negeri, yakni minimnya lapangan pekerjaan, kurangnya pendidikan, dan faktor budaya berupa peran perempuan dalam keluarga, peran anak dalam keluarga, serta orang tua tunggal (single parent).

Kendati demikian, kata dia, faktor lemahnya penegakan hukum cukup besar pengaruhnya terhadap trafficking.

"Ini terlihat dari ulah oknum pejabat pemerintah yang disuap agar bersedia memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, dan paspor sehingga membuat buruh migran rentan terhadap trafficking," kata Purwanti.(ANT/A038)