Denpasar (ANTARA) - Maestro seni Prof Dr I Wayan Dibia, SST, MA berpandangan tari Barong Ket yang dibawakan dengan aksi-aksi kocak sesungguhnya dapat menodai keagungan dan wibawa dari salah satu tarian Bali yang sarat dengan gerak-gerak simbolik itu.

"Tari Barong Ket adalah sebuah kesenian yang memiliki konsep estetika, norma etika, dan teknik gerak yang khusus dan berbeda dengan tari Bali pada umumnya. Jika ingin berhasil, setiap penari Barong Ket harus memahami ketiga hal tersebut," kata Prof Dibia saat menjadi narasumber dalam acara seminar bertajuk Penguatan Identifikasi Ikonografi dan Makna Topeng Barong Koleksi Museum Bali di Denpasar, Senin.

Baca juga: Penari Bali akan tampilkan Tari Nawasari di sidang UNESCO

Guru besar ISI Denpasar itu mengemukakan secara estetik, Barong Ket adalah sosok khayalan, perwujudan binatang berkaki empat yang memiliki kekuatan magis luar biasa. Oleh sebab itu, gerak-gerak Barong Ket Bali lebih bersifat simbolik dibandingkan realistik.

"Namun, sejak sekitar dua dekade yang lalu, beberapa penari Barong Ket mulai mencoba untuk memasukkan gerak-gerak binatang (singa) yang realistik. Dengan maksud melakukan perubahan, beberapa penari mulai memasukkan gerak-gerak imitatif seperti menggaruk telinga (dengan kaki) atau menggigit kaki yang gatal," ujarnya.

Belakangan ini muncul tari Barong Ket yang membanyol dengan aksi-aksi kocak sambil mempermainkan bulunya di depan penonton wanita yang cantik, atau menginjak-injak bagian tubuh terlarang dari pembawa payung.

"Meskipun aksi-aksi seperti ini mungkin mampu menarik perhatian penonton, gerak-gerak seperti ini bertentangan dengan estetika dan etika Barong Ket Bali, serta akan menodai keagungan dan wibawanya. Hal ini pula yang menyebabkan gerak-gerak akrobatik seperti dalam 'lion dance' dari China tidak bisa diterapkan dalam tari Barong Ket di Bali," ujarnya.

Oleh sebab itu, penari barong yang baik akan menjauhi aksi-aksi seperti itu. Terlebih kalau Barong Ket yang ditarikan tersebut merupakan barong sakral, sehingga akan ada tuntutan spiritualistiknya.

Sebagai produk budaya, Barong Ket juga memiliki tatanan etika yang patut diperhatikan oleh para penari barong. Etika ini mencakup cara memasuki barong (nyaluk), mengusung barong (nyuwun), dan cara menarikan atau menggerakkan topeng (ngisi/ngigelang) barong.

Baca juga: Barong Festival Superstar digelar di Badung untuk lestarikan budaya

Baca juga: Ribuan penari ikut tari kolosal 1.000 barong di Kediri


"Etika ini wajib dipahami oleh para penari barong terutama ketika menarikan barong sungsungan (sakral) . Menjalankan etika seperti ini, yang di dalamnya juga telah tercakup teknik memainkan barong, akan dapat mengangkat derajat sosial dari seorang penari barong, suatu hal yang ikut menentukan keberhasilan seorang penari barong," kata Prof Dibia.

Mantan Ketua STSI Denpasar itu menyoroti belakangan seni bebarongan semakin menggeliat, bahkan sudah bisa ditarikan anak SD. "Ini bagi saya kegairahan baru dalam seni barong yang patut disyukuri," ucapnya.
Maestro seni Prof I Made Bandem dan I Ketut Kodi saat memperagakan tari menggunakan topeng barong koleksi Museum Bali (Antaranews Bali/Ni Luh Rhisma/2020)


Perspektif Barong

Sementara itu, budayawan sekaligus maestro seni Prof I Made Bandem PhD, MA, narasumber lainnya dalam seminar tersebut banyak mengulas asal mula topeng barong di Bali, ditinjau dari berbagai perspektif sejarah, mitologi, arkeologi, filsafat manusia, dan perspektif akulturasi, hingga ikonografi.

Mantan Rektor ISI Yogyakarta itu menambahkan untuk ikonografi topeng Barong koleksi museum Bali meliputi tiga hal pokok, yaitu laksana (penanda, atribut, atau ciri-ciri khusus), estetika (nilai seni yang terkandung pada benda itu), bhava (ekspresi, cahaya, dari topeng-topeng Barong tersebut).

"Barong Ket diperkirakan lahir di Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong antara tahun 1460-1550 di Gelgel, Klungkung. Sedangkan topeng-topeng primitif lainnya sudah berada di Bali sejak zaman pra-Sejarah atau pra-Hindu Bali," ucapnya pada seminar yang juga menghadirkan narasumber akademisi dan ahli topeng I Ketut Kodi, SSp, MSi yang mengulas proses pembuatan topeng barong sakral dan profan.

Dipandang dari perspektif ikonografi, kini di Bali terdapat beberapa jenis topeng Barong, seperti Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Menjangan, Barong Singa, Barong Gajah, Barong Lembu, Barong Asu, Barong Landung, Barong Brutuk, Barong Blas-Blasan, dan Barong Wayang Wong.

Baca juga: Tari Bali sebagai warisan dunia diumumkan November

Baca juga: Tari Barong buat kagum penonton WVF Helsinki


Prof Bandem menambahkan untuk Museum Bali memiliki koleksi topeng yang cukup lengkap. Inventarisasi tahun 2010 menunjukkan bahwa koleksi topeng dalam museum ini mencapai 381 buah. Koleksi ini diklasifikasikan ke dalam delapan kelompok, yaitu Topeng Primitif, Topeng Wali (Sidakarya), Topeng Calonarang, Wayang Wong, Barong, Bondres (Lucu), Tokoh yang Tidak Terindifikasikan, dan Topeng Dekoratif. Setiap kelompok dari genre ini memiliki sub genre (tokoh-tokoh) yang puluhan jumlahnya.

"Sejumlah seniman dan kolektor asing maupun lokal yang sebelumnya telah menyumbangkan topeng Barong di Museum Bali seperti Walter Spies, R Bonet, Viki Baum, Y. Miura, Van Wessen, Mr Nehaus, dan Ida Pedanda Made Sidemen. Di luar topeng Barong ada seniman-seniman lain yang menyumbangkan karya-karyanya seperti I Dewa Putu Kebes, I Wayan Tangguh, dan I Wayan Tedun.

Kepala UPTD Museum Bali I Wayan Andra Septawan, SSKar, MSi menambahkan dengan adanya seminar tersebut selain untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi keberadaan topeng barong koleksi Museum Bali, sekaligus menjadi wahana untuk menginformasikan pada masyarakat.

"Hasil dari seminar ini, nantinya juga akan dijadikan buku yang berkaitan dengan keberadaan topeng barong di Museum Bali," ucap Andra Septawan.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof Dr I Wayan "Kun" Adnyana saat membuka acara mengatakan pemerintah pusat dan daerah ingin menjadikan museum sebagai penguatan integritas, kompetensi dan jati diri krama (warga) Bali.

"Oleh karena itu, dari tahun ke tahun dilakukan inventarisasi secara solid dan digitalisasi. Kegiatan ini merupakan rangkaian proses pengkajian, utamanya fokus penguatan identifikasi ikonografi," ucapnya.

Baca juga: Batubulan, Desa "Tari Barong" bertabur prestasi

Di akhir acara juga diisi dengan peragaan tari oleh ketiga narasumber menggunakan sejumlah koleksi di Museum Bali yang disaksikan peserta seminar dari unsur Listibya dan Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota, Himusba, Balai Arkeologi, akademisi hingga perajin barong.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof Dr I Wayan Kun Adnyana saat membuka seminar (Antaranews Bali/Ni Luh Rhisma/2020)