Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Sri Wulan meminta industri farmasi domestik perlu terus memberdayakan bahan baku lokal.

"Kita punya bahan baku melimpah, tapi kita tidak bisa menggunakan itu dengan baik, karena hampir 95 persen semua bahan bakunya adalah impor. Kandungan lokal hanya 4 sampai 5 persen saja," kata Sri Wulan dalam rilis yang diterima di Jakarta, Senin.

Baca juga: Obat penanganan COVID-19 racikan holding BUMN farmasi siap digunakan

Menurut Sri Wulan, fakta tersebut menjadi tantangan agar ke depannya industri farmasi Indonesia bisa bangkit memproduksi obat-obatan dari bahan baku dalam negeri.

Untuk itu, ujar dia, kebijakan pemerintah diharapkan dapat betul-betul dapat mengatasi kendala tersebut.

Ia mencontohkan Pulau Madura yang terkenal sebagai sentra produksi garam, terletak dekat dengan kota besar Surabaya, tetapi menjadi persoalan adalah kurangnya akses teknologi agar garam Madura bisa memenuhi standar bahan baku obat.

Pemerintah, lanjutnya, juga dapat memperbanyak kesempatan penelitian guna memberdayakan dengan baik beragam tanaman obat di Nusantara.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan meminta produsen farmasi nasional mempercepat produksi obat COVID-19, salah satunya adalah jenis remdesivir.

"Harus diupayakan untuk segera produksi dalam negeri. Kita cari bahan-bahannya itu nanti, jadi jangan ada hambatan," kata Luhut dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Penyediaan Obat COVID-19 secara virtual di Jakarta, Sabtu (26/9/2020).

Luhut juga meminta PT Bio Farma (Persero) sebagai produsen farmasi nasional segera mengambil langkah yang cepat dan tepat agar bahan baku untuk produksi nasional dapat segera dilakukan, demi kepentingan nasional.

Sementara, Kementerian Perindustrian melalui Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Jakarta melakukan riset farmasi dan kosmetik berbasis bahan alam lokal untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri.

“Penguatan peran ini akan kami jalankan dengan menyiapkan infrastruktur pengembangan fitofarmaka yang sesuai dengan standar CPOTB, penggunaan soft computing dan penerapan teknologi 4.0 guna menjadi percontohan bagi industri farmasi berbasis bahan alam,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja industri kimia, farmasi dan obat tradisional mengalami pertumbuhan yang gemilang sebesar 5,59 persen pada semester I 2020.

"Namun demikian, kami tetap bekerja keras untuk mengurangi impor di sektor industri farmasi,” imbuh Doddy.

Sesuai Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan di Indonesia, kementerian dan lembaga terkait harus bersinergi dalam mengembangkan industri farmasi yang mandiri dan berdaya saing.

Apalagi, industri farmasi telah masuk sebagai sektor tambahan yang mendapat prioritas pengembangan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0.

Baca juga: Dukung TKDN, Kemenperin dukung sertifikasi produk farmasi
Baca juga: Luhut tekankan pentingnya sertifikasi produk farmasi dorong TKDN