Pontianak (ANTARA) - Tim gabungan Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang, dan IAR Indonesia mentranslokasi satu orangutan jantan dewasa dari kebun milik warga di Desa Tempurukan ke Hutan Sentap Kancang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Kepala Program IAR Indonesia Argitoe Ranting dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Senin mengatakan, ditemukannya orangutan itu, saat sedang mencari makan di kebun milik warga, karena hutan habitatnya yang berbatasan langsung dengan desa itu sudah rusak akibat kebakaran pada 2019.

Dia menjelaskan, karena jarak antara kebun warga dengan blok hutan Sentap Kancang sekitar empat kilometer, maka orangutan itu tidak bisa digiring kembali masuk ke dalam hutan karena jarak yang terlalu jauh.

"Sehingga kami memutuskan untuk mentranslokasi orangutan yang diperkirakan beratnya 50 kilogram itu ke lokasi yang lebih baik, yakni ke wilayah Sungai Benibis yang masih masuk ke dalam kawasan hutan Sentap Kancang. Selain karena masih dalam lanskap yang sama, wilayah yang berupa hutan rawa gambut ini cukup jauh dari perkebunan dan perkampungan warga sehingga potensi konflik dapat diminimalisir, dan berdasarkan hasil survei di hutan gambut itu juga menunjukkan adanya jumlah jenis pakan yang cukup berlimpah bagi orangutan," ujarnya.

Dia menambakan, translokasi orangutan yang diperkirakan berusia15-20 tahun itu berjalan lancar. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan medis, dokter hewan IAR Indonesia yang memeriksanya menyatakan orangutan itu dalam kondisi baik, tidak ditemukan adanya kelainan atau bekas luka atau luka terbuka di badannya.

"Karena kondisi orangutan ini sehat dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut, maka kami langsung mentranslokasikan orangutan itu ke hutan Sentap Kancang," kata Argitoe Ranting.

Meskipun kegiatan ini sukses memindahkan orangutan ke hutan yang lebih baik untuk kehidupannya, tranlokasi semacam ini hanyalah solusi sementara. Translokasi ini tidak bisa mengurai akar permasalahan sebenarnya, yakni dampak alih fungsi dan kerusakan hutan.

"Selama alih fungsi dan kerusakan hutan terus terjadi, konflik manusia-orangutan akan terus terjadi.
Ancaman terhadap kelangsungan hidup orangutan bertambah sejak kebakaran besar melanda sebagian besar wilayah di Ketapang," ucapnya.

Hutan yang terbakar menyebabkan banyak orangutan kehilangan tempat tinggal dan dan sumber penghidupannya. Orangutan-orangutan ini pergi meninggalkan rumahnya yang terbakar dan masuk ke kebun warga untuk mencari makan, sehingga menyebabkan tingginya jumlah perjumpaan manusia dengan orangutan yang tidak jarang menimbulkan konflik yang dapat merugikan orangutan dan manusia itu sendiri, kata Argitoe Ranting.

Sementara itu Kepala BKSDA Kalbar Sadtata Noor Adirahmanta mengatakan, masih seringnya terjadi konflik satwa liar dengan manusia perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak.

"Upaya konservasi akan semakin efektif dengan dukungan para pemangku kepentingan. Semua elemen, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai ke masyarakat, harus memiliki kepedulian yang sama serta terlibat dan menyadari peran masing-masing," katanya.

Saat ini, diperkirakan terdapat 57.350 orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di habitat seluas 181.692 km2 (PHVA, 2016), mencakup wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sarawak (Malaysia). Di Kalimantan Barat, diperkirakan terdapat sekitar 4.520 orangutan untuk sub jenis Pongo pygmaeus pygmaeus. Satwa orangutan merupakan satwa dilindungi oleh Undang-undang berdasarkan Peraturan Menteri LHK No 106 tahun 2018. Berdasarkan IUCN, status konservasi orangutan Kalimantan adalah critically endangered (CR).

"Konflik satwa liar dengan manusia membutuhkan penyelesaian secara komprehensif. Oleh karena itu, saya mengajak kepada seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama melindungi dan melestarikan spesies, khususnya orangutan Kalimantan," kata Sadtata.