Jakarta (ANTARA News) - Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan menilai perlu sosok pemimpin berkarakter kuat untuk menghadapi sejumlah tantangan global saat ini, baik masalah ekonomi maupun perubahan lingkungan.

"Tidak ada keraguan bahwa contoh kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai permasalahan seperti konflik, bencana alam, perubahan iklim, dan terorisme," kata Annan dalam "Presidential Lecturer" di Istana Negara Jakarta, Kamis siang.

Annan yang menyampaikan pemikiran tentang tantangan kepemimpinan dalam dunia yang multipolar menyatakan, saat ini kemampuan kepemimpinan sangat diuji untuk menyelesaikan masalah-masalah yang semakin kompleks.

"Kita harus adaptasi dengan cepat tantangan yang ada. Contoh kepemimpinan saat ini adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara lintas negara. Ini membutuhkan peningkatan kapabilitas nasional, dan pemimpin yang dimiliki dihasilkan dari proses demokrasi yang baik dan penegakan aturan hukum yang baik," katanya.

Dalam paparan 45 menit di Istana Negara tersebut, Kofi Annan mengambil contoh penanganan krisis ekonomi global dan perubahan iklim.

"Saya percaya perubahan iklim merupakan tantangan besar dan diperlukan pemimpin yang memiliki kualitas. Pemimpin harus dapat menciptakan sebuah kebijakan yang tepat dan radikal," katanya.

Beberapa kali, pria asal Ghana yang menjadi Sekjen PBB ketujuh menggantikan Butros-Butros Gali ini, memuji Indonesia yang disebutnya mampu menghadapi krisis ekonomi global dan mencegah dampak negatifnya, serta aktif dalam pembicaraan perubahan iklim.

"Saya beri penghargaan atas inisiatif Indonesia, perubahan iklim harus menjadi salah satu keputusan puncak politik di sebuah negara saat ini," katanya.

Ia menambahkan, kirisis ekonomi global tidak bisa diatasi hanya oleh satu negara, semua pihak harus bergerak dari pola pikir lama bahwa keamanan nasional semata bisa selesaikan masalah jadi harus ada aksi koletif untuk menjawab tantangan global.

"Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mendorong hal itu, menunjukkan langkah yang harus diambil dalam kondisi multipolar ini di mana perubahan bisa terjadi kapan saja," katanya.

Presiden Yudhoyono menanggapi pandangan Annan dengan mengatakan memang tidak mudah mencapai kata sepakat dalam berbagai isu internasional, terlebih soal pemanasan global dan perubahan iklim.

"Saya rasakan dalam lima tahun ini saya punya kesimpulan kecil, katakanlah sulitnya mencapai `new agreement` (kesepakatan baru) dalam penanganan `climate change` (perubahan iklim), seperti di Copenhagen, New York, APEC, ASEM dan forum lain.

Ini cukup fundamental karena belum ada keseimbangan antara `national intrest` (kepentingan nasional) dengan `global intrest` (kepentingan lobal)," kata Presiden.

Mengenai restrukturisasi kelembagaan PBB, Presiden menilai bila penilaian kriteria negara anggota tetap Dewan Keamanan PBBB adalah negara yang mewakili berbagai unsur, maka Indonesia bisa memenuhinya.

"Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar, berpenduduk keempat terbesar di dunia, terbesar di Asia Tenggara, dan ada tiga akar peradaban yaitu Islam, Barat dan Timur. Barangkali bila suatu saat ada reformasi yang lebih merepresentasikan masyarakat dunia, harapan kami Indonesia patut dipertimbangkan," kata Presiden.

Hadir pada acara itu Wakil Presiden Boediono, sejumlah menteri dan pejabat negara.

P008/s018/AR09