Perajin batik "berkawan" dengan digital demi bertahan kala pandemi
2 Oktober 2020 09:44 WIB
Perajin menunjukan kain batik di Rumah Batik Palbatu, Jakarta Selatan, Kamis (1/10/2020). Pemerintah menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional setelah UNESCO mengakui batik sebagai karya agung warisan budaya manusia dan lisan pada tahun 2009 silam. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.
Jakarta (ANTARA) - Sektor tekstil dan garmen di Indonesia, termasuk perajin dan pengusaha batik, menjadi salah satu industri yang terdampak saat pandemi COVID-19 melanda.
Berbagai cara coba mereka lakukan, termasuk berkawan dengan teknologi dan beralih ke digital.
"Sekarang memaksa kami para pelaku untuk beralih ke digital. Kami terus menjalin komunikasi, bahkan kerja sama dan membuat webinar setiap Minggu tentang batik dan donasi untuk perajin batik lokal," kata Ketua Asosiasi Pengusaha dan Perajin Batik Indonesia, Dr. H. Komarudin Kudiya, melalui diskusi virtual, Kamis (1/10).
Baca juga: "Kenakan dan bangga", cara sederhana lestarikan batik
Baca juga: Cara bedakan batik asli dengan tekstil bercorak batik
"Ada pula kerja sama dengan Google Arts and Culture untuk memasukkan batik ke lamannya. dengan ditampilkan ke Google, kita sudah declare ke seluruh dunia kalau ini adalah batik Indonesia," ujarnya melanjutkan.
Sebagai informasi, pada bulan April, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan terjadi pengurangan 2,1 juta pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Komarudin pun menyebut, saat ini terdapat banyak pengrajin batik rumahan (dengan modal di bawah 200 juta) di Cirebon, Jawa Barat, hingga Pekalongan, Jawa Tengah, yang harus gulung tikar karena tidak adanya permintaan. Ini juga berlaku bagi pelaku industri bordir dan tenun, kata dia.
Ketua Galeri Batik YBI Periode 2010-2019 dan aktivis Yayasan Batik Indonesia, Dr. Tumbu Ramelan, menyebutkan bahwa memang, yang paling terdampak adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), atau industri akar rumput.
"Sejauh ini, pengusaha batik telah melaporkan bahwa penjualan mereka menurun drastis hingga sekitar 30 persen," kata dia.
Baca juga: Kemendikbud: Eksistensi batik meluas karena bernilai universal
Baca juga: Hari Batik Nasional, berikut aplikasi edukasi hingga game batik
Ia berpendapat, dengan mencoba mengenalkan teknologi ke para pelaku bisnis batik, diharapkan bisa menggugah keterlibatan mereka untuk eksistensi batik, dan membantu industrinya, yang meliputi 200 ribu pembuat batik di seluruh Nusantara.
Di sisi lain, raksasa teknologi Google juga menyatakan komitmen untuk mendukung pemulihan ekonomi Indonesia dengan digitalisasi.
"Ini agar sektor batik dapat bertransformasi digital secara cepat dan memanfaatkan teknologi. Google juga telah melatih 50 UMKM di sektor batik untuk go digital dan beradaptasi baik di masa pandemi, dan membantu mereka memajukan bisnis melalui media digital," kata Kepala Hubungan Publik Asia Tenggara, Google Asia Tenggara, Ryan Rahardjo menambahkan.
Baca juga: Inovasi jadi strategi agar batik bertahan saat pandemi dan naik kelas
Baca juga: Rayakan Hari Batik Nasional, Google padukan batik dan digitalisasi
Berbagai cara coba mereka lakukan, termasuk berkawan dengan teknologi dan beralih ke digital.
"Sekarang memaksa kami para pelaku untuk beralih ke digital. Kami terus menjalin komunikasi, bahkan kerja sama dan membuat webinar setiap Minggu tentang batik dan donasi untuk perajin batik lokal," kata Ketua Asosiasi Pengusaha dan Perajin Batik Indonesia, Dr. H. Komarudin Kudiya, melalui diskusi virtual, Kamis (1/10).
Baca juga: "Kenakan dan bangga", cara sederhana lestarikan batik
Baca juga: Cara bedakan batik asli dengan tekstil bercorak batik
"Ada pula kerja sama dengan Google Arts and Culture untuk memasukkan batik ke lamannya. dengan ditampilkan ke Google, kita sudah declare ke seluruh dunia kalau ini adalah batik Indonesia," ujarnya melanjutkan.
Sebagai informasi, pada bulan April, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan terjadi pengurangan 2,1 juta pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Komarudin pun menyebut, saat ini terdapat banyak pengrajin batik rumahan (dengan modal di bawah 200 juta) di Cirebon, Jawa Barat, hingga Pekalongan, Jawa Tengah, yang harus gulung tikar karena tidak adanya permintaan. Ini juga berlaku bagi pelaku industri bordir dan tenun, kata dia.
Ketua Galeri Batik YBI Periode 2010-2019 dan aktivis Yayasan Batik Indonesia, Dr. Tumbu Ramelan, menyebutkan bahwa memang, yang paling terdampak adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), atau industri akar rumput.
"Sejauh ini, pengusaha batik telah melaporkan bahwa penjualan mereka menurun drastis hingga sekitar 30 persen," kata dia.
Baca juga: Kemendikbud: Eksistensi batik meluas karena bernilai universal
Baca juga: Hari Batik Nasional, berikut aplikasi edukasi hingga game batik
Ia berpendapat, dengan mencoba mengenalkan teknologi ke para pelaku bisnis batik, diharapkan bisa menggugah keterlibatan mereka untuk eksistensi batik, dan membantu industrinya, yang meliputi 200 ribu pembuat batik di seluruh Nusantara.
Di sisi lain, raksasa teknologi Google juga menyatakan komitmen untuk mendukung pemulihan ekonomi Indonesia dengan digitalisasi.
"Ini agar sektor batik dapat bertransformasi digital secara cepat dan memanfaatkan teknologi. Google juga telah melatih 50 UMKM di sektor batik untuk go digital dan beradaptasi baik di masa pandemi, dan membantu mereka memajukan bisnis melalui media digital," kata Kepala Hubungan Publik Asia Tenggara, Google Asia Tenggara, Ryan Rahardjo menambahkan.
Baca juga: Inovasi jadi strategi agar batik bertahan saat pandemi dan naik kelas
Baca juga: Rayakan Hari Batik Nasional, Google padukan batik dan digitalisasi
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020
Tags: