Jakarta (ANTARA News) - Rabu, 13 Agustus 1997, Century Golden Hotel, New York, empat pentolan dinas rahasia paling ditakuti di dunia berembug; seorang Mossad, seorang mantan CIA, seorang jenderal KGB, dan satu jenderal intelijen China, Kung-an Pu.

Mereka membicarakan nasib seorang perempuan cantik mempesona nan kesohor yang dianggap ancaman serius terhadap kelangsungan bisnis mesin pembunuh mereka.

Untuk banyak orang di dunia, perempuan cantik bernama Lady Diana Spencer dan ibu dari dua pewaris tahta Kerajaan Britania Raya itu adalah simbol keanggunan dan kemuliaan hati perempuan serta penyala spirit bagi para pecinta perdamaian.

Tetapi, bagi sebagian kecil yang hidup dengan memuja teror demi keuntungan bisnis, Diana adalah ancaman paling berbahaya dan badai yang bisa menyingkap ambisi jahat mereka merekayasa perang dan permusuhan demi harta.

Mulanya, keempat orang maestro telik sandi dunia itu ragu mengungkap hasratnya; menghentikan kampanye perempuan cantik itu dalam menentang penyebaran ranjau darat yang adalah salah satu item pusaka bisnis mereka.

Upaya-upaya internasional sang puteri ayu itu memang telah membuat dunia dan media massa global tiba-tiba fokus menyorot bahaya ranjau darat sehingga para produsennya --Amerika, Rusia dan China-- terancam.

Mereka ingin sepak terjang Diana diakhiri selamanya, mereka hendak membunuh Diana. Masalahnya, CIA, KGB dan dinas rahasia China enggan mengerjakan aksi kotor itu.

Mereka tidak ingin kematian Puteri Wales yang dilihat dunia tidak memiliki satu pun alasan untuk dibenci apalagi harus diakhiri hayatnya, terlihat tidak wajar.

Diam-diam mereka berharap pada kompatriot mereka, Mossad, yang reputasinya terkenal dalam mengeksekusi manusia tanpa terlihat sebagai korban pembunuhan.

Dan ya, dinas rahasia paling efisien dan efektif di dunia itu menyanggupi permintaan ketiga rekannya tersebut.

Akhirnya, bersepakat dan bersulanglah mereka, "Death to Diana."

Babak pertama kisah misteri dibalik pembunuhan perempuan paling diincar media massa internasional sepanjang sejarah ini, dibuka dan mengalirlah paparan intrik dari situ.

Selanjutnya, lembar demi lembar novel berjudul "The Lady Di Conspiracy; The Mistery Behind the Tragedy of Pont De L'alma" menyuguhkan kisah mendebarkan mengenai salah satu operasi pembunuhan intelijen paling rapi di dunia.

Baru kali ini

Ceritanya sangat menarik, seperti cerita-cerita film bertema spionase dan novel berisi intrik intelijen yang sering ditulis para novelis Barat. Lalu, ada selimut moral dan dialog antar peradaban didalamnya.

Tapi jangan kecele, buku ini tidak ditulis pengarang Barat yang umumnya jago meramu kisah-kisah intrik.

Buku ini ditulis seorang Indonesia! Namanya Indra Adil.

Baru kali ini, seorang novelis Indonesia berhasil merangkai tema intrik modern nan kompleks laksana kisah dalam karya-karya John Grisham atau Robert Ludlum.

Novel terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, yang edisi Bahasa Inggrisnya diterbitkan pada September 2008 ini memang disajikan dalam dua edisi bahasa; Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Sayang, penggunaan Bahasa Inggris dalam novel ini terasa aneh sehingga mengurangi kenyamanan dalam membacanya.

Padahal, pemakaian Bahasa Inggris yang pantas adalah kesempatan untuk menarik dan memprovokasi khalayak lebih luas untuk mengikuti versi lain dari apa yang sebenarnya terjadi di terowongan Paris, selain sebagai cara mengenalkan nilai Timur dan moral Islam yang dihadirkan "paksa" dalam novel ini, kepada entitas sosial diluar Timur yang digambarkan Indra Adil kelewat mematerialisasi kehidupan dan amat memuja logika sehingga hampa spiritualitas.

Beberapa kejanggalan lain yang ditemui dalam novel ini diantaranya adalah pemakaian istilah, idiom, kontekstualisasi bahasa, bahkan nama tokoh.

Misalnya, penyebutan Lapangan Tiananmen dengan Tiananmen Field, bukan Tiananmen Square, atau dalam mengutipkan nama, seperti David Kennedy. Jika yang dimaksud adalah tiga serangkai dinasti politik AS terkenal, Keluarga Kennedy --John, Robert dan Edward-- maka nama David mesti dikoreksi.

Hal lain yang agak mengganggu adalah "pemaksaan" pesan, meski keberanian pengarang dalam menyisipkan nilai-nilai keislaman yang cukup eksploratif dan referesensial mesti diajungi jempol.

Tak seperti umumnya pengarang Barat yang memberi otoritas pada pembaca untuk menangkap dan menafsirkan sendiri kandungan, pesan dan nilai cerita, --sebagaimana kebanyakan penulis Indonesia-- Indra Adil tidak bisa menyembunyikan hasrat memberi pesan dengan keluar dari alur normal cerita sehingga tampak sebagai tuturan pengarang yang dipaksa dimasukkan pada dialog dari para pelaku cerita yang akibatnya seperti menggurui.

Indra juga mengenalkan dan memasukkan ide keislaman melalui hubungan ganjil antara seorang pria Indonesia pelatih pencak silat yang tinggal di Inggris bernama Sutan dengan Stephen, orang kedua dalam struktur operasional dinas intelijen Inggris, MI-5, yang juga menjadi tokoh utama novel sebagai organisator utama tim pembunuhan Diana.

Sulit dibedakan

Buku ini sulit dibedakan dari fiksi dan non fiksi. Jika fiksi belaka, selesailah semuanya, tapi jika non fiksi, kontroversi dan perdebatan luas akan terundang masuk mengingat banyak premis dan hipotesis cenderung faktual di dalamnya.

Diantara kontroversi paling menonjol adalah provokasi berdasar tinjauan historis, analisis konflik global kontemporer dan studi keagamaan tentang konspirasi Yahudi dibalik kematian Diana, seperti terjadi pada banyak kekacauan dunia lainnya.

Namun, diluar itu semua, alur kisah pada novel ini berlangsung sistematis dan rapi dengan menyuguhkan epilog mengejutkan yang tidak terpikirkan pembaca. Para penyuka cerita intrik bakal menyenangi novel ini.

Tak pelak novel ini memberi pengetahuan pada publik mengenai bagaimana intelijen bekerja dan bagaimana jejak-jejak tindakan yang bisa menguak laku intelijen dalam peristiwa-peristiwa kontroversial seperti pembunuhan tokoh populer seperti Puteri Diana, dihilangkan.

Buku ini juga bisa menjadi satu referensi demi menyegarkan kekritisan pembaca, bahwa pada setiap prakarsa dan niat baik manusia, ada kalangan yang menaksir kebaikan dari sudut lain sebagai ancaman.

Dalam kata lain, pada tiap kampanye kemanusiaan dan perdamaian, ada bara maut yang setiap saat mudah disulut oleh mereka yang terancam kantong uangnya, mereka yang nyaman dalam situasi konflik, mereka yang gemar membisniskan perang dan krisis, mereka yang diuntungkan oleh chaos dan perang, yaitu mereka yang oleh aktor AS, Woody Harrelson, disebut "warmonger" atau provokator perang.

Pada beberapa bagian, novel ini memantulkan intrik politik menarik seperti ditemui pada misalnya film "Wag the Dog" yang dibintangi Dustin Hoffman atau "24" yang diaktingi Kiefer Sutherland, yang sama-sama menguak skenario bisnis dan politik dibalik perang dan konflik.

Lebih dari itu, novel ini seakan mengingatkan konsekuensi dari ide mempromosikan perdamaian seperti misalnya dilakukan Mahatma Gandhi atau Barack Obama sekarang, bahwa ada pihak yang terancam dan siap melakukan apa saja kalau dunia diubah menjadi lebih tertib dan damai.

Mereka ini orang-orang yang menangguk untung dan mengoleksi harta dari kacaunya tatanan masyarakat.

Indra Adil menunjukkan hal-hal itu dalam novel fiksi berbau realitas atau malah realita yang difiksikan ini. (*)