Paris (ANTARA News) - Pertemuan para Menteri Pertanian OECD di Paris pada 25-26 Februari 2010 memokuskan perhatian pada ketahanan pangan yang dihadapi dunia. Ini karena, pada beberapa dekade ke depan tema paling serius yang dihadapi kemanusiaan adalah mengatasi kelangkaan pangan dan air.
Namun, menanggapi soal itu, sejumlah kontradiksi aktual mesti dihadapi dahulu manusia.
Di samping mesti mengatasi kelaparan dan gizi buruk pada satu milyar penduduk dunia, pertanian global dituntut meningkatkan produksinya 150% pada 2030 dan 200% pada 2050, dibandingkan statistik yang ada saat ini. Peningkatan produksi itu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia yang terus meningkat.
Namun bertolak belakang dari itu, penggunaan sumberdaya alam, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim telah menurunkan daya dukung lahan dan air perkapita sampai tinggal separuh lagi dari situasi 50 tahun silam.
Tantangan itu harus dijawab oleh investasi lebih besar di bidang pangan, terutama dalam hubungannya dengan pengembangan teknologi, infrastruktur, dan pengembangan sumber daya manusia.
Untuk jelasnya, pada lima tahun ke depan, dunia membutuhkan investasi minimal sama dengan total investasi di bidang pertanian selama 20 tahun terakhir.
Namun krisis keuangan lalu telah membuat investasi dalam skala sebesar itu terlampau berat dialokasikan, terutama karena utang negara-negara telah begitu membengkak.
Tahun ini, negara-negara OECD yang rata-rata maju saja didera masalah utang yang totalnya jauh melebihi Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.
Oleh karena itu, langkah-lagkah multilateral dibutuhkan untuk mengatasi masalah yang seolah tidak ada ujungnya ini. Namun, solusi utama tetap berpijak di tingkat negara, bahkan secara khusus, di tingkat usaha tani. Di atas itu semua, harus diakui tak ada solusi yang berlaku untuk semua masalah.
Sembari memperhitungkan berbagai keterbatasan yang dihadapi sektor pertanian, beberapa langkah kongkrit berikut bisa segera dilakukan, misalnya dengan membangun kesungguhan nasional untuk mengurangi kehilangan hasil panen.
Seluruh rantai pasokan dari petani hingga piring konsumen harus meminimumkan sisa, yang saat ini masih berkisar antara 30 sampai 50 persen. Dalam soal ini, pelajaran untuk jangan membuang makanan, bahwa makan harus habis, perlu digalakkan kembali sejak usia dini.
Sementara jalan keluar di tingkat petani, diantaranya adalah dengan membangun usaha tani yang mampu "berswasembada energi dan memberi input" dengan memanfaatkan ulang bahan nabati yang telah diproduksi.
Petani padi dapat memanfaatkan jerami atau dedak yang dihasilkan bersama produksi beras sebagai sumber bahan bakar, dan mengembalikan sebanyak mungkin sisa serasah sebagai pupuk nabati.
Hal menarik dari diskusi para menteri pertanian di forum ekonomi seperti OECD yang saya garis bawahi adalah bahwa di tengah berbagai perbedaan paradigma ekonomi yang dianut negara-negara, lahir kesepakatan untuk menegaskan bahwa jika sumberdaya untuk mendukung ketahanan pangan menyusut, maka dukungan multilateral yang harus diberikan adalah langsung ditujukan kepada petani.
Bukan hanya karena mendukung petani memberi imbalan yang signifikan secara jangka panjang, namun juga karena tanpa petani pangan tidak akan pernah ada.
Oleh sebab itu, dalam bayangan keterbatasan ekonomi global yang belum cerah benar, dukungan terhadap petani harus tetap dikedepankan. (*)
Penulis: Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia
Ketahanan Pangan dalam Bayang Gejolak Ekonomi Global
27 Februari 2010 16:24 WIB
Dr Bayu Krisnamurti (ANTARA/Emye)
Oleh Bayu Krisnamurthi (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
Tags: