Jakarta (ANTARA News) - Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya perlu mengusulkan pembentukan dana bersama (mutual fund) guna mengatasi permasalahan akibat kemungkinan kerugian dari diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) atau negara-negara lain, kata seorang peneliti.

"Indonesia jangan sendiri mengajukan usul pembentukan mutual fund," kata Zamroni Salim Ph.D, peneliti ekonomi The Habibie Center di Jakarta Rabu.

Berbicara seusai diskusi tentang "Implikasi Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China terhadap Ekonomi Indonesia" yang diselenggarakan The Habibie Center, Zamroni mengatakan lebih jauh bahwa pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas pada dasarnya menguntungkan berbagai negara yang terlibat.

ASEAN atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara memiliki sepuluh anggota yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

Namun, katanya, dalam pelaksanaannya ada pihak yang rugi dan ada yang untung.

"Negara-negara yang untung memberikan iuran sesuai dengan kesepakatan dari surplus yang diperoleh dari perdagangan," ujar Zamroni yang lulus dari sebuah universitas di Jepang.

"Negara-negara yang rugi dalam mekanisme tersebut dibantu antara lain dalam bentuk pelatihan bagi buruh atau relokasi industri," katanya.

Dalam kerangka ACFTA, ia mengatakan pengusulan pembentukan dana bersama itu dilakukan bersama-sama bukan per negara supaya lebih kuat.

Menurut dia, sejauh ini belum ada dana bersama seperti itu di dunia dan jika negara-negara anggota ASEAN dan China sepakat membetuknya, ini berati yang pertama di dunia.

"Indonesia perlu melobi negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk menggolkan gagasan tersebut," ujarnya.

Zamroni menambahkan negara-negara ASEAN bisa menggunakan "Chiang Mai Initiatives" untuk mewujudkan dana bersama tersebut.

Setelah krisis finansial yang melanda kawasan Asia Tenggara tahun 1997, para menteri keuangan ASEAN bertemu pada 6 Mei 2000 di Chiang Mai, Thailand, dalam konferensi tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk mencari upaya-upaya agar krisis tersebut tak terulang lagi.

ASEAN+3 telah menyepakati dana "pooling fund" sebesar USD120 miliar sebagai salah satu komponen Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM). Pengumpulan cadangan devisa bersama tersebut menjadi langkah sepuluh negara Asia Tenggara plus tiga mitranya, Jepang, China, dan Korea Selatan untuk tidak bergantung pada Dana Moneter Internasional (IMF) dalam menghadapi krisis global. Inisiatif pengumpulan dana ini juga sekaligus mengoreksi kelemahan IMF.

"Chiang Mai Intitiative bisa diterapkan dalam FTA untuk penguatan industri dan peningkatan daya saing produk dan buruh," kata Zamroni.

Dalam diskusi yang dipandu Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar tersebut, pembicara lain adalah Ketua Komite Tetap Industri Makanan, Minuman dan Tembakau KADIN, Thomas Darmawan, Dirjen Perdagangan Dalam Kemneterian Perdagangan Negeri Subayo.

Diskusi tersebut berlangsung setelah The Habibie Center meresmikan berdirinya Program Kajian ASEAN. The Habibie Center mengidentifikasi perlunya mendirikan program itu yang memfokuskan diri pada ASEAN.

Keterlibatan LSM seperti The Habibie Center sangat penting untuk mendukung pelaksanaan tiga pilar kerja sama (ekonomi, politik-keamanan, dan sosial-budaya) yang digariskan dalam Piagam ASEAN dan juga mendukung terciptanya komunitas ASEAN pada tahun 2015. (M016/K004)