Jakarta (ANTARA News) - Bagaimana situasi politik menjelang 5 Maret 2010, yaitu menjelang berakhirnya masa aktif Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR RI tentang Kasus Bank Century? .
Hal ini masih terus menjadi perhatian para fungsionaris parpol, aktivis politik, politisi di DPR RI Senayan, pengamat dan peneliti politik serta tentunya masyarakat atau rakyat Indonesia dalam minggu-minggu terakhir ini.

Bagi para pengamat dan peneliti politik, situasi politik menjelang 5 Maret 2010 seperti halnya events dan moment-moment lainnya jelas merupakan konsumsi mereka untuk kemudian dijadikan pengamatan dan prediksi politik, terlepas dari soal presisi atau akurasinya.

Para aktivis politik juga bergiat melakukan antisipasi dan tidak mustahil merancang aksi politik yang terkait dengan current and hot issue, seakan tidak ingin ketinggalan kereta “momentum” mulai dari Gerakan Indonesia Bersih sampai Aliansi Masyarakat Korban Lapindo dan Bank Century.

Para politisi DPR RI di Senayan mulai dari yang masuk kategori Non Koalisi sampai yang kubu Koalisi hapir dapat dipastikan mencurahkan waktu dan perhatian secara all-out untuk “memaksimalkan” atau “menisbikan” Hasil kerja Pansus Kasus Century sesuai dengan kepentingan dan target politik mereka masing-masing.

Para fungsionaris pimpinan parpol dalam kaitan ini tentu juga tidak akan melewatkan sedikitpun peluang dan celah lobbi politik untuk mendukung manuver politik fraksi dan rekan mereka yang berada di Senayan dan khususnya yang berada di Pansus Kasus Bank Century.

Sittuasi politik menjelang 5 Maret 2010 ditentukan oleh bagaimana hasil kerja Pansus Kasus Bank Century, pada bagaimana sikap dan tindakan pemerintah dalam merespon hasil dan temuan Pansus Kasus Bank Century di samping juga dipengaruhi oleh sikap dan penerimaan rakyat banyak terhadap hasil kerja Pansus Bank Century dan Sikap-tindak pemerintah dalam menangani -mempertanggungjawabkan- kasus raibnya uang negara sebesar Rp.6,7 triliun.

Hubungan segitiga antara lembaga DPR RI – Tindakan Pemerintah - Aksi Protes Rakyat dalam konsepsi siklus/lingkaran protes (Ronald Inglehaart, 1990) yang akan menentukan apakah situasi politik menjelang 5 Maret 2010 sekarang ini akan ditandai dengan munculnya gelombang aksi unjuk rasa/demonstrasi/protes atau munculnya semacam people power yang mengarah pada suatu pemakzulan, kudeta, revolusi atau reformasi jilid II.

Headline tiap hari

Hasil kajian text and talks Lembaga Kajian Informasi terhadap sebuah media cetak nasional terbesar di Indonesia dan sebuah media cetak yang mengidentifikasi diri sebagai the political news leader tentang penempatan berita-berita yang menyangkut Kasus Bank Century dalam periode waktu 15 Januari sampai dengan 15 Pebruari 2010 ditemukan.

Fakta pertama, selama periode waktu tersebut kedua suratkabar itu secara konsisten menyajikan berita Kasus Bank Century sebagai berita di halaman pertama di 40 edisi penerbitan. Kedua, media cetak dengan predikat the political news leader di Indonesia nyaris hampir setiap hari penerbitan memunculkan berita Kasus Bank Century selama periode itu dengan perbandingan 1 (bukan berita Bank Century) berbanding 40 (Berita Kasus Bank Century) sebagai Berita Utama (Headline).

Hasil Jajak Pendapat menggunakan telepon rumah, Telkom dengan jumlah responden 100 orang yang diambil secara acak dan batas usia 20 tahun sampai 65 tahun diketahui hanya 4 responden yang mengatakan tidak memperhatikan berita Kasus Bank Century baik melalui media cetak atau media TV, selebihnya 96 responden memperhatikan dan mengikuti berita Kasus Bank Century hampir setiap hari.
Perhatian dan tingkat media exposure di atas tadi relatif cukup besar dan signifikan bila dikaitkan dengan proses pembentukan opini publik.

Dan dampak pemberitaan tersebut hampir dapat dipastikan dapat menambah pengetahuan dan informasi masyarakat akan Kasus Bank Century (Knowledge Building) yang pada gilirannya menimbulkan Sikap (Attitudes) masyarakat bahkan Persepsi terhadap Kasus Bank Century dan akhirnya dapat mendorong Tindakan (Practice) masyarakat sebagai reaksi atau respon terhadap hasil kerja Pansus Bank Century dan penanganan pemerintah terhadap raibnya Rp 6,7 triliun uang negara untuk bail out Bank Century.

Rakyat atau masyarakat bisa menentukan untuk mengadakan suatu unjuk rasa karena Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah salah satu bentuk untuk mengungkapkan isi hati, pikiran dan perasaan serta tindakan dari para pelakunya baik individu, kelompok atau organisasi. Aksi unjuk rasa dapat berbentuk Aksi Protes atau berbentuk Aksi Kontra Protes terhadap suatu kasus tertentu yang dalam hal ini ditujukan terhadap hal-hal yang terkait dengan kasus Bank Century. Aksi atau reaksi masyarakat dengan ber Unjuk Rasa dijamin dengan peraturan perundangan.

Sayangnya pemerintah sering terlalu bersikap represif bahkan opresif terhadap aksi-aksi Unjuk Rasa pada Gerakan Sembilan Desember (Glandes) Peringatan Hari Korupsi Internasional dan menjelang aksi unjuk rasa 28 Januari 2010. Pihak pemerintah telah mengirimkan himbauan tertulis kepada perusahaan pemilik angkutan bus untuk tidak menyewakan kendaraannya digunakan bagi angkutan para pelaku aksi Unjuk rasa/demo.

Sikap pemerintah yang berlebihan dalam mengantisipasi aksi Unjuk Rasa dengan menggunakan indikator jumlah pelaku aksi unjuk rasa yang dilaporkan ke pihak Polda, ternyata jumlahnya lebih sedikit dibandingkan jumlah petugas yang mengamankan aksi unjuk rasa. Petugas yang mengamankan jalannya unjuk rasa diklaim berjumlah 10.000 personel Polri, Satpol PP dan TNI.

Sementara itu, jumlah pelaku aksi Unjuk Rasa di Bunderan Hotel Indonesia misalnya, jumlahnya yang tidak mencapai seribu orang dan di sekitar Istana juga berjumlah tidak lebih dari 1.500 orang Sebagai perbandingan, pengerahan massa pendukung simpatisan pada peringatan HUT ke II Partai Demokrasi Pembaruan 9 Desember 2007 yang dihitung secara benar dan tepat adalah ketika massa PDP memenuhi Bunderan HI dengan jumlah massa seribu orang, maka yaris jalan di seputar Bunderan HI menjadi macet total.

Liputan media dan pemberitaan pers terkait dengan aksi Unjuk Rasa Glandes dan 28 Januari 2010 terkesan “heboh” karena para pengamat dan peneliti serta aktivis politik ikut memberikan kontribusi terhadap isi media massa. Dapat dimaklumi kalau kemudian pihak pemerintah akhirnya memilih sikap over-protective dan opresif mengantisipasi aksi unjuk rasa itu.

Tergantung pemerintah

Hasil Kajian dan Pengamatan terhadap aksi-aksi Unjuk Rasa di beberapa tempat di Indonesia memberikan indikasi adanya penguatan potensi aksi-aksi Unjuk Rasa menjadi People Power, tapi perubahan bentuk Unjuk rasa menjadi people power amat bergantung pada beberapa hal.

Contohnya, sikap dan tindakan pemerintah dalam menyelesaikan Kasus Bank Century, terpenuhinya cita rasa keadilan masyarakat yang terkait dengan kasus Hukum Antasari Azhar, Prita Mulyasari dan juga Aspuri buruh yang mencuri kaos di jemuran pakaian, ditambah lagi fenomena peningkatan-pengurangan sikap represif-opresif pemerintah menghadapi aksi Unjuk rasa, tuntutan dan protes-protes masyarakat serta berbagai regulasi dan deregulasi.

Semua tindakan opresif akan selalu diikuti dengan tindakan Perlawanan (James C. Scott, 1985). Sikap over-protective pemerintah atau kemungkinan munculnya deregulasi dan regulasi yang menyangkut tatacara pelaksanaan aksi unjuk rasa justru dapat mengundang “amuk massa” atau menumbuh suburkan benih-benih “Perlawanan Tersembunyi” yang oleh Scott disebut sebagai hidden resistance.

Rapid Assessment LKI juga memberikan beberapa indikator yang jelas bahwa semua aksi-aksi unjuk rasa Glandes dan 28 Januari 2010 belum satupun yang bisa digolongkan sebagai people power yang sesungguhnya. Aksi-aksi Unjuk Rasa di Jakarta, Semarang, Makasar dan Bandung yang muncul pada Glandes dan 28 Januari 2010 belum dapat dikategorikan people power, karena jumlah massa pendukungnya juga tidak pernah sampai memadati semua ruas jalan di kota-kota tersebut dan membuat aktivitas ekonomi, bisnis dan sosial menjadi lumpuh.

Belum dapat disebut people power karena, pertama, tidak ada figur sentral atau pemimpin di kedua aksi-aksi unjuk rasa tadi. Kedua, Aksi-aksi ini hanya terjadi satu kali-di satu momentum dan tidak diikuti oleh aksi-aksi yang eskalatif seperti boikot atau pemogokkan apalagi huru-hara/kerusuhan. Ketiga, tidak terjadi benturan fisik antara unsur negara (state) dan warga (citizen).Keempat, tidak menimbulkan dampak politik yang signifikan seperti tumbangnya pemerintahan, kudeta, revolusi atau pemakzulan.

Kasus Bank Century bagaimanapun menjadi pusat perhatian rakyat. Rakyat sebagai pembayar pajak merasa memiliki hak untuk mempertanyakan dan meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap kasus raibnya uang negara sebesar Rp.6,7 triliun di Bank Century.

Situasi seputar kehidupan masyarakat saat ini seperti naiknya harga beras cukup mahal meskipun harga minyak goreng masih disubsidi, harga ikan asin yang meningkat karena nelayan kesulitan melaut akibat cuaca buruk, ancaman PHK yang meningkat dan akan meningkat karena pemberlakuan Pasar Bebas ASEAN-China, dampak banjir dan longsor.

Kasus populer lainnya adalah penghentian subsidi rusun, penculikan anak meningkat, penggusuran penghuni rumah dinas TNI, terusiknya citra rasa keadilan rakyat mellihat kasus hukum Prita dan Aspuri. Akhir-akhir ini muncul organisasi dan kelompok tandingan serta pemaksaan kehendak dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang tidak dikenal, .semua hal-hal itu dapat menjadi faktor pendorong munculnya perlawanan rakyat atau civil resistance (Michael Randle, 1994).

Sikap dan tindakan apapun yang akan menjadi opsi pemerintah dalam menyelesaikan kasus Bank Century menjadi pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat akibat raibnya Rp. 6,7 triliun uang negara.

Pertanggungjawaban pemerintah atas Kasus Bank Century etikanya harus disertai permohonan maaf kesalahan pemerintah kepada rakyat, karena banyak rakyat yang menjadi korban Kasus Bank Century.

Permintaan maaf pemerintah kepada rakyat bukanlah aib dan hina bagi pemerintah karena rakyat sebenarnya adalah pemegang kedaulatan politik tertinggi dan kekuasaan yang dipegang pemerintah adalah bersumber dari suara dan kekuatan rakyat. Pemerintah tentunya secara ideal ingin tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hakiki “demokrasi” (pemerintah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat).

Perlawanan rakyat

Jika pertanggungjawaban ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah dan malah sebaliknya pemerintah makin bertindak represif dan opresif (menindak dan menindas) terhadap rakyat atau wakil rakyat yang menentang pemerintah, maka kekuatan rakyat akan bangkit melawan pemerintah.

People power atau kekuatan rakyat sejati di mana rakyat turun ke jalan-jalan melawan pemerintah secara terus menerus melalui aksi unjuk rasa dan meningkat menjadi perlawanan rakyat (civil resistance) melalui pembangkangan, perlawanan tanpa kekerasan, boikot, pemogokan, okupasi, pendudukan, bahkan kudeta dan revolusi.

Kemarahan rakyat atau “amuk massa” dalam referensi studi-studi Gerakan Sosial, Revolusi dan Konflik merupakan faktor yang dapat melahirkan apa yang disebut sebagai civil or citizen defence. Hal ini dapat menjadi alternative defence yang dalam situasi tertentu akan berhadap-hadapan dengan military defence.

Sejarah pergolakkan dan revolusi di Rusia, 1912 atau awal sejarah people power sebagai “Diskursus Politik” yang menggulingkan Ferdinand Marcos pada Februari 1986, keduanya berangkat dari faktor perlawanan rakyat terhadap korupsi endemik yang melanda kedua negeri itu.

Rakyat Indonesia yang menanti bagaimana akhir penyelesaian Kasus Bank Century saat ini tidak bisa lagi dianggap sebagai rakyat dari suatu bangsa penurut, mudah ditakut-takuti dan tidak melawan jika ditindas dan ditakuti-takuti, karena betapapun mantera Pancasila dan nilai-nilai serta etika berpolitik bangsa Indonesia disebut dan dilafalkan, belum tentu dapat mengalahkan “perlawanan rakyat” atau mematahkan kekuatan moral rakyat dalam menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas raibnya uang negara sebesar Rp. 6,7 triliun di Bank Century. (*)

*) Petrus Suryadi Sutrisno (elkainf@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi (LKI), dan Konsultan Senior Komunikasi.