Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan ancaman krisis iklim semakin riil sehingga bukan lagi sekedar kesadaran semua pihak yang dibutuhkan tetapi aksi ekstrem.

“Ancaman krisis iklim yang semakin riil, dalam beberapa hari terakhir kondisi (iklim) kita tidak menentu. Jakarta sempat banjir beberapa hari lalu, sementara di pantai barat Amerika Serikat suhu kering sehingga memicu kebakaran di sana,” kata Fabby dalam Forum Editorial daring the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama IESR diakses dari Jakarta, Sabtu.

Tidak hanya itu, ia mengatakan sudah ada juga berita terbaru yang menyebutkan es di kutub semakin mencair. Fenomena dari akselerasi pemanasan global semakin terasa. Sehingga memang bukan lagi sekedar kesadaran semua pihak yang dibutuhkan, tetapi aksi ekstrem mengatasinya untuk menghindari peningkatan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat Celsius. Dan itu, menurut dia, membutuhkan usaha yang ekstra.

Transisi energi menjadi salah satu upaya yang perlu dilakukan segera mengingat biang keladi pengemisi gas rumah kaca (GRK) adalah penggunaan bahan bakar fosil, ujar Fabby. Sedangkan untuk bisa mencapai target Paris Agreement, maka lebih dari 80 persen emisi saat ini harus dipangkas.

“Artinya emisi GRK berasal dari energi fosil dari penggunaan listrik dan kendaraan bermotor perlu dikurangi secara drastis,” ujar Fabby.

Indonesia, kata dia, memang bukan penghasil karbon terbesar tapi salah satu negara yang semakin meningkat emisi GRK-nya. Meski demikian ada dalam urutan 10 besar dunia.

“Jadi penting untuk bicara transisi energi kita dari berbasis fosil ke yang lebih bersih,” kata Fabby.