Medan (ANTARA News) - Sosiolog dari IAIN Sumut, Prof Dr Nur Ahmad Fadhil Lubis, mengatakan, nikah siri yang banyak terjadi di kalangan masyarakat lebih banyak menimbulkan mudharat (efek buruk) daripada manfaatnya.

"Secara umum, nikah siri lebih banyak mudharatnya," kata Nur Ahmad Fadhil Lubis di Medan, Minggu.

Idealnya, kata dia, perkawinan adalah suatu peristiwa yang membahagiakan dan layak diberitahukan karena berkaitan dengan status sosial di tengah masyarakat.

Melalui pernikahan itu, ia mengemukakan, akan tercipta sebuah tatanan sosial yang bersangkutan, termasuk pengaruhnya dalam bersosialisasi di kalangan masyarakat.

Jika disembunyikan, menurut dia, maka dikhawatirkan muncul permasalahan di belakangan hari seperti tanggung jawab terhadap isteri dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

"Kalau memang sudah menikah dan resmi menjadi suami isteri, kenapa harus disembunyikan," katanya.

Ia menjelaskan, pernikahan merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi dan bagian dari kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat.

Karena terkait dengan tatanan sosial, ia mengemukakan, pernikahan itu harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengakibatkan kebingungan dan ketidakjelasan.

Salah satu aturan itu adalah perlunya pernikahan yang dilangsungkan tersebut dicatatkan dan memiliki akta yang resmi sehingga sesuai dengan norma yang berlaku.

Mengenai adanya sanksi jika pernikahan itu dicatatkan, ia menilai, maka sangat tergantung kebutuhan dan manfaat dari ketentuan yang akan diberlakukan

Namun sebelum sanksi itu diberlakukan, pemerintah harus dapat membuat ketentuan yang bisa memudahkan masyarakat dalam mendapatkan akta pernikahan seperti menetapkan biaya murah.

"Kalau perlu jangan dikenakan biaya sama sekali. Anggap saja sebagai bagian layanan pemerintah" kata Rektor IAIN Sumut itu.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga perlu melakukan kajian mendalam dalam pemberian sanksi bagi pelaku nikah siri tersebut.

Hal itu diperlukan agar pemberlakuan sanksi itu tidak salah target sehingga menjadikan korban dalam nikah siri sebagai pihak yang bersalah.

Ia mencontohkan perempuan desa yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Namun dengan berbagai pertimbangan terpaksa harus menjalani nikah siri.

"Jadi, pemerintah harus dapat membedakan dan memilah antara pelaku dan korban," katanya menambahkan.
(T.I023/I007/P003)