Pelajar SMA di Thailand ikut gelar aksi protes atas sistem pendidikan
25 September 2020 14:57 WIB
Para pemimpin mahasiswa memasang plakat menyatakan "Negeri ini milik rakyat" saat reli massa menyerukan penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan reformasi monarki, di dekat Grand Palace di Bangkok, Thailand, Minggu (20/9/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha/aww/cfo (REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA)
Bangkok (ANTARA) - Dengan mengenakan pita putih, memotong rambut di depan publik, serta membuat gestur salam tiga jari seperti dalam film fiksi The Hunger Games, para pelajar SMA di Thailand ikut serta melakukan aksi unjuk rasa atas sistem pendidikan negara itu.
Gerakan itu menyebar ke sekolah-sekolah tingkat atas di Thailand yang dinamai sebagai "Pelajar Nakal" oleh pemimpinnya--serupa dengan buku seorang aktivis pelajar, Netiwit Chotiphatphaisal, tentang pengalamannya di SMA yang berjudul "Seorang Pelajar Nakal dalam Sistem Pendidikan yang Luar Biasa".
Aksi yang dilakukan kaum pelajar itu menyusul aksi protes yang telah dan masih dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Thailand yang menuntut demokrasi.
Para pelajar juga mendukung tujuan yang lebih luas lagi terkait protes anti pemerintah, namun melalui sikap mengekspresikan diri mereka terlebih dahulu dengan mencoba menghapuskan aturan-aturan yang mereka anggap sudah terlalu lawas.
Tradisionalisme dianggap masih berjalan di dalam sistem pendidikan Thailand. Mars kerajaan harus diputar setiap pagi di sekolah, sementara aturan seragam dan perilaku juga ketat, serta para pelajar diharapkan tidak mempertanyakan otoritas atas hal itu.
"Ada pepatah viral bahwa 'kediktatoran pertama kita adalah sekolah'," ujar Peka Loetparisanyu, seorang pelajar berusia 17 tahun.
"Mereka masih mencoba menanamkan kepada kami bahwa kami hanyalah anak kecil dalam masyarakat yang otoriter. Ini berarti bahwa banyak hak-hak kami yang dilanggar," kata dia menambahkan.
Benjamaporn Nivas, pelajar perempuan berusia 15 tahun, menjadi salah satu representasi gerakan "Pelajar Nakal" yang duduk di ruang publik dengan tanda yang digantung di lehernya bertuliskan ajakan kepada orang yang lalu lalang untuk memotong rambutnya sebagai simbol "hukuman" karena telah melanggar aturan soal rambut.
Kini ia menargetkan pada reformasi yang lebih jauh lagi.
"Mereka harus membuang semua aturan yang ketinggalan zaman, bukan hanya satu aturan (rambut) itu. Aturan-aturan bahkan semestinya tidak pernah ada, karena melanggar hak asasi manusia," kata Benjamaporn.
Pengkritik menyebut bahwa sistem pendidikan di sekolah lebih bertujuan pada persaingan daripada edukasi. Menurut skor global yang dikumpulkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) pada 2018, Thailand tertinggal dari Singapura, juga Malaysia, dalam hal membaca, matematika, dan pengetahuan alam.
Namun, kaum konservatif Thailand tetap geram ketika bulan lalu sejumlah pelajar melakukan aksi dan menunjukkan gestur-gestur perlawanan--menggunakan pita putih, membuat salam tiga jari "The Hunger Games" saat mars kerajaan diputar--untuk mendukung gerakan pro demokrasi.
Salam tiga jari itu telah menjadi simbol seruan demokrasi sejak Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha pertama menjabat setelah kudeta tahun 2014. Sementara pita putih menjadi lambang kemurnian para pelajar.
Menteri Pendidikan Nataphol Teepsuwan sebelumnya di tahun ini menyatakan akan menuruti permintaan para pelajar untuk melonggarkan aturan yang mewajibkan panjang rambut tertentu serta gaya penampilan bagi pelajar perempuan dan laki-laki.
Namun Nataphol menyebut bahwa diskusi lebih lanjut diperlukan untuk menghapuskan aturan seragam dan perubahan utama lainnya.
"Saya tidak merasa bahwa para pelajar ini adalah lawan saya. Saya merasa bahwa dengan mendengarkan mereka, saya memberikan sebuah kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan perhatian mereka dengan aman," kata dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: Sekitar 1.000 warga Thailand berunjuk rasa di Bangkok tuntut perubahan
Baca juga: Warga di Bangkok kembali berunjuk rasa anti pemerintah
Baca juga: Facebook blokir grup pengkritik Raja Thailand
Gerakan itu menyebar ke sekolah-sekolah tingkat atas di Thailand yang dinamai sebagai "Pelajar Nakal" oleh pemimpinnya--serupa dengan buku seorang aktivis pelajar, Netiwit Chotiphatphaisal, tentang pengalamannya di SMA yang berjudul "Seorang Pelajar Nakal dalam Sistem Pendidikan yang Luar Biasa".
Aksi yang dilakukan kaum pelajar itu menyusul aksi protes yang telah dan masih dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Thailand yang menuntut demokrasi.
Para pelajar juga mendukung tujuan yang lebih luas lagi terkait protes anti pemerintah, namun melalui sikap mengekspresikan diri mereka terlebih dahulu dengan mencoba menghapuskan aturan-aturan yang mereka anggap sudah terlalu lawas.
Tradisionalisme dianggap masih berjalan di dalam sistem pendidikan Thailand. Mars kerajaan harus diputar setiap pagi di sekolah, sementara aturan seragam dan perilaku juga ketat, serta para pelajar diharapkan tidak mempertanyakan otoritas atas hal itu.
"Ada pepatah viral bahwa 'kediktatoran pertama kita adalah sekolah'," ujar Peka Loetparisanyu, seorang pelajar berusia 17 tahun.
"Mereka masih mencoba menanamkan kepada kami bahwa kami hanyalah anak kecil dalam masyarakat yang otoriter. Ini berarti bahwa banyak hak-hak kami yang dilanggar," kata dia menambahkan.
Benjamaporn Nivas, pelajar perempuan berusia 15 tahun, menjadi salah satu representasi gerakan "Pelajar Nakal" yang duduk di ruang publik dengan tanda yang digantung di lehernya bertuliskan ajakan kepada orang yang lalu lalang untuk memotong rambutnya sebagai simbol "hukuman" karena telah melanggar aturan soal rambut.
Kini ia menargetkan pada reformasi yang lebih jauh lagi.
"Mereka harus membuang semua aturan yang ketinggalan zaman, bukan hanya satu aturan (rambut) itu. Aturan-aturan bahkan semestinya tidak pernah ada, karena melanggar hak asasi manusia," kata Benjamaporn.
Pengkritik menyebut bahwa sistem pendidikan di sekolah lebih bertujuan pada persaingan daripada edukasi. Menurut skor global yang dikumpulkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) pada 2018, Thailand tertinggal dari Singapura, juga Malaysia, dalam hal membaca, matematika, dan pengetahuan alam.
Namun, kaum konservatif Thailand tetap geram ketika bulan lalu sejumlah pelajar melakukan aksi dan menunjukkan gestur-gestur perlawanan--menggunakan pita putih, membuat salam tiga jari "The Hunger Games" saat mars kerajaan diputar--untuk mendukung gerakan pro demokrasi.
Salam tiga jari itu telah menjadi simbol seruan demokrasi sejak Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha pertama menjabat setelah kudeta tahun 2014. Sementara pita putih menjadi lambang kemurnian para pelajar.
Menteri Pendidikan Nataphol Teepsuwan sebelumnya di tahun ini menyatakan akan menuruti permintaan para pelajar untuk melonggarkan aturan yang mewajibkan panjang rambut tertentu serta gaya penampilan bagi pelajar perempuan dan laki-laki.
Namun Nataphol menyebut bahwa diskusi lebih lanjut diperlukan untuk menghapuskan aturan seragam dan perubahan utama lainnya.
"Saya tidak merasa bahwa para pelajar ini adalah lawan saya. Saya merasa bahwa dengan mendengarkan mereka, saya memberikan sebuah kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan perhatian mereka dengan aman," kata dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: Sekitar 1.000 warga Thailand berunjuk rasa di Bangkok tuntut perubahan
Baca juga: Warga di Bangkok kembali berunjuk rasa anti pemerintah
Baca juga: Facebook blokir grup pengkritik Raja Thailand
Penerjemah: Suwanti
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2020
Tags: