Dirjen KI: Perjanjian Marrakesh penting untuk perlindungan hak cipta
24 September 2020 14:18 WIB
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Freddy Harris menyampaikan pernyataan Indonesia mengenai arti penting ratifikasi Traktat Marrakesh dan Traktat Beijing dalam Sidang Umum WIPO ke-61 di Jenewa, Swiss, Rabu (23/09/2020). (ANTARA/HO-Kementerian Hukum dan HAM)
Jakarta (ANTARA) - Perjanjian Marrakesh penting untuk perlindungan hak cipta nasional maupun internasional, demikian disampaikan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris pada Sidang Umum Organisasi Hak Atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) ke-61 di Jenewa, Swiss, Rabu (23/9) waktu setempat.
"Perjanjian Marrakesh penting, sebagai salah satu perjanjian hak cipta multilateral pertama yang berhubungan dengan pengecualian dan batasan," ujar Freddy dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan bahwa pemberian atas pengecualian dimaksud adalah dalam mereproduksi, mendistribusikan, dan membuat tersedianya karya cetak ke dalam format yang dirancang untuk dapat diakses bagi penyandang disabilitas tanpa melanggar hak cipta dan hak terkait.
"Keberhasilan implementasi traktat ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan hukum hak cipta nasional, masyarakat internasional dapat memiliki rezim pengecualian dan pembatasan hak cipta yang seragam, efektif, dan memberikan kepastian hukum," ucap dia.
Baca juga: Dirjen KI: Pendaftaran merek meningkat di tengah pandemi COVID-19
Baca juga: Permohonan kekayaan intelektual meningkat di masa pandemi COVID-19
Diketahui, Indonesia juga telah menyerahkan instrumen ratifikasi Traktat Marrakesh untuk fasilitasi akses atas ciptaan yang dipublikasi bagi penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, atau disabilitas dalam membaca karya cetak pada 28 Januari 2020 lalu.
Ratifikasi tersebut merupakan cerminan dari komitmen Indonesia terhadap sistem kekayaan intelektual internasional yang seimbang dan efektif.
"Ratifikasi itu merupakan komitmen kami terhadap prinsip-prinsip nondiskriminasi, kesempatan yang sama, aksesibilitas, serta partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas," ujar dia.
Di samping itu, Freddy juga membahas ratifikasi Perjanjian Beijing tentang pertunjukan audiovisual.
Freddy mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini, menjamin bahwa pelaku pertunjukan di Tanah Air memiliki hak yang sama dengan pelaku pertunjukan di negara-negara anggota WIPO yang telah meratifikasi traktat ini.
Adapun Indonesia merupakan pihak ke-30 yang meratifikasi Traktat Beijing pada 28 Januari 2020, yang menjadi penentu berlakunya traktat ini untuk 30 pihak yang telah menandatangani Traktat pada 28 April 2020 lalu untuk memastikan hak ekonomi dan pelindungan hak moral bagi para pelaku di seluruh dunia.
Pada Sidang Umum WIPO ke-61 di Jenewa, Indonesia berharap WIPO terus berjuang untuk menghasilkan lebih banyak kerangka hukum internasional tentang pengecualian dan pembatasan hak cipta. "Seperti untuk tujuan pendidikan dan penelitian," ucap Freddy.
"Perjanjian Marrakesh penting, sebagai salah satu perjanjian hak cipta multilateral pertama yang berhubungan dengan pengecualian dan batasan," ujar Freddy dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan bahwa pemberian atas pengecualian dimaksud adalah dalam mereproduksi, mendistribusikan, dan membuat tersedianya karya cetak ke dalam format yang dirancang untuk dapat diakses bagi penyandang disabilitas tanpa melanggar hak cipta dan hak terkait.
"Keberhasilan implementasi traktat ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan hukum hak cipta nasional, masyarakat internasional dapat memiliki rezim pengecualian dan pembatasan hak cipta yang seragam, efektif, dan memberikan kepastian hukum," ucap dia.
Baca juga: Dirjen KI: Pendaftaran merek meningkat di tengah pandemi COVID-19
Baca juga: Permohonan kekayaan intelektual meningkat di masa pandemi COVID-19
Diketahui, Indonesia juga telah menyerahkan instrumen ratifikasi Traktat Marrakesh untuk fasilitasi akses atas ciptaan yang dipublikasi bagi penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, atau disabilitas dalam membaca karya cetak pada 28 Januari 2020 lalu.
Ratifikasi tersebut merupakan cerminan dari komitmen Indonesia terhadap sistem kekayaan intelektual internasional yang seimbang dan efektif.
"Ratifikasi itu merupakan komitmen kami terhadap prinsip-prinsip nondiskriminasi, kesempatan yang sama, aksesibilitas, serta partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas," ujar dia.
Di samping itu, Freddy juga membahas ratifikasi Perjanjian Beijing tentang pertunjukan audiovisual.
Freddy mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini, menjamin bahwa pelaku pertunjukan di Tanah Air memiliki hak yang sama dengan pelaku pertunjukan di negara-negara anggota WIPO yang telah meratifikasi traktat ini.
Adapun Indonesia merupakan pihak ke-30 yang meratifikasi Traktat Beijing pada 28 Januari 2020, yang menjadi penentu berlakunya traktat ini untuk 30 pihak yang telah menandatangani Traktat pada 28 April 2020 lalu untuk memastikan hak ekonomi dan pelindungan hak moral bagi para pelaku di seluruh dunia.
Pada Sidang Umum WIPO ke-61 di Jenewa, Indonesia berharap WIPO terus berjuang untuk menghasilkan lebih banyak kerangka hukum internasional tentang pengecualian dan pembatasan hak cipta. "Seperti untuk tujuan pendidikan dan penelitian," ucap Freddy.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020
Tags: