Dunia akan lampaui batas pemanasan global tanpa investasi besar
24 September 2020 13:57 WIB
Kawanan burung kuntul bertengger di areal tambak garam Desa Tanjung, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (1/9/2020). Perubahan iklim menyebabkan banyak burung melakukan migrasi hingga ratusan kilometer guna bertahan hidup ANTARA FOTO/Saiful Bahri/hp. (ANTARA FOTO/SAIFUL BAHRI)
London (ANTARA) - Dunia harus menggabungkan paket pemulihan dari dampak COVID-19 dengan investasi besar-besaran dalam energi terbarukan dan infrastruktur rendah karbon atau akan gagal memenuhi target batas pemanasan global.
Hal itu disampaikan dalam sebuah laporan oleh konsultan energi terkemuka Wood Mackenzie pada Rabu.
Saat ini, dunia akan mengalami kenaikan suhu 2,8 hingga 3 derajat Celcius dalam suhu rata-rata global. Angka itu di atas batas suhu pemanasan global yang disepakati secara internasional, yakni di bawah 2 derajat Celcius, kata laporan itu.
"Hampir 20 triliun dolar AS ( Rp300 kuadriliun), atau 25 persen dari PDB (produk domestik bruto) global, dialokasikan untuk pengeluaran selama 12-18 bulan ke depan untuk pemberian vaksin virus corona, mengatasi masalah pengangguran, membangun kembali sistem kesehatan masyarakat dan memulihkan ekonomi," kata Prakash Sharma, kepala pasar dan transisi untuk kawasan Asia Pasifik di Wood Mackenzie.
Baca juga: Pakar tak ragukan perubahan iklim sebabkan kebakaran hutan Australia
Baca juga: Konsultan properti sebut pusat bisnis di Singapura terancam tenggelam
"Angka investasi ini hanya memiliki proporsi kecil yang dialokasikan untuk janji target Perjanjian Paris (untuk penanganan perubahan iklim). Beberapa wilayah, seperti Uni Eropa, telah menggandakan target penghijauan, tetapi target itu saat ini sedang tidak tentu sama sekali di AS dan China," ujar Sharma.
Salah satu kendala adalah bahwa lebih dari setengah energi dan kapasitas industri yang ada di dunia -- listrik, semen, kilang, bahan kimia, dan kendaraan -- masih baru dan memiliki beberapa dekade lagi untuk beroperasi.
Selain itu, dibutuhkan dana lebih dari 1 triliun dolar AS (sekitar Rp15,02 kuadriliun) setahun untuk membangun kapasitas pasokan energi baru, kata laporan Wood Mackenzie itu.
Batubara, gas, dan minyak diperkirakan masih akan menyumbang sekitar 80 persen dari pasokan energi primer pada 2040, yakni jauh lebih tinggi dari jumlah maksimum 50 persen yang dibutuhkan dunia untuk mencapai emisi karbon nol pada 2050.
Meskipun ada peningkatan pembangkit energi terbarukan dan manufaktur kendaraan listrik, hal itu tidak cukup dan insentif diperlukan untuk investasi dalam penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon dan hidrogen hijau, yang keduanya belum digunakan secara komersial dalam skala besar.
Sumber: Reuters
Baca juga: Paus Fransiskus desak negara-negara hormati kesepakatan iklim Paris
Baca juga: Ahli: Target NDC perlu naik 5 kali lipat hadang dampak perubahan iklim
Hal itu disampaikan dalam sebuah laporan oleh konsultan energi terkemuka Wood Mackenzie pada Rabu.
Saat ini, dunia akan mengalami kenaikan suhu 2,8 hingga 3 derajat Celcius dalam suhu rata-rata global. Angka itu di atas batas suhu pemanasan global yang disepakati secara internasional, yakni di bawah 2 derajat Celcius, kata laporan itu.
"Hampir 20 triliun dolar AS ( Rp300 kuadriliun), atau 25 persen dari PDB (produk domestik bruto) global, dialokasikan untuk pengeluaran selama 12-18 bulan ke depan untuk pemberian vaksin virus corona, mengatasi masalah pengangguran, membangun kembali sistem kesehatan masyarakat dan memulihkan ekonomi," kata Prakash Sharma, kepala pasar dan transisi untuk kawasan Asia Pasifik di Wood Mackenzie.
Baca juga: Pakar tak ragukan perubahan iklim sebabkan kebakaran hutan Australia
Baca juga: Konsultan properti sebut pusat bisnis di Singapura terancam tenggelam
"Angka investasi ini hanya memiliki proporsi kecil yang dialokasikan untuk janji target Perjanjian Paris (untuk penanganan perubahan iklim). Beberapa wilayah, seperti Uni Eropa, telah menggandakan target penghijauan, tetapi target itu saat ini sedang tidak tentu sama sekali di AS dan China," ujar Sharma.
Salah satu kendala adalah bahwa lebih dari setengah energi dan kapasitas industri yang ada di dunia -- listrik, semen, kilang, bahan kimia, dan kendaraan -- masih baru dan memiliki beberapa dekade lagi untuk beroperasi.
Selain itu, dibutuhkan dana lebih dari 1 triliun dolar AS (sekitar Rp15,02 kuadriliun) setahun untuk membangun kapasitas pasokan energi baru, kata laporan Wood Mackenzie itu.
Batubara, gas, dan minyak diperkirakan masih akan menyumbang sekitar 80 persen dari pasokan energi primer pada 2040, yakni jauh lebih tinggi dari jumlah maksimum 50 persen yang dibutuhkan dunia untuk mencapai emisi karbon nol pada 2050.
Meskipun ada peningkatan pembangkit energi terbarukan dan manufaktur kendaraan listrik, hal itu tidak cukup dan insentif diperlukan untuk investasi dalam penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon dan hidrogen hijau, yang keduanya belum digunakan secara komersial dalam skala besar.
Sumber: Reuters
Baca juga: Paus Fransiskus desak negara-negara hormati kesepakatan iklim Paris
Baca juga: Ahli: Target NDC perlu naik 5 kali lipat hadang dampak perubahan iklim
Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: