Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (Core) Muhammad Faisal menilai struktur RAPBN 2021 dengan defisit 5,7 persen, cukup realistis.

Di sisi lain, anggaran kesehatan perlu diperbesar dan digenjot realisasinya karena kebutuhan penanganan pandemi masih tinggi pada tahun depan.

"Saya perkirakan baru pada 2021 (mulai mereda), tapi itu belum langsung, perlu waktu, mudah-mudahan semester kedua, artinya konsekuensi belanja pemerintah untuk penanganan COVID tetap harus besar," katanya di Jakarta, Senin.

Baca juga: Menko Airlangga: Realisasi PEN UMKM 91,4 persen, kesehatan 31,6 persen

Pemerintah, lanjut dia, perlahan mengurangi defisit dari tahun ini mencapai 6,34 persen menjadi 5,7 persen karena ketidakpastian akibat pandemi COVID-19 masih tinggi pada 2021.

Toleransi defisit melebar karena pandemi virus corona ini akan berlangsung hingga 2022 dan akan kembali dalam batas maksimal sesuai amanat UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar tiga persen.

Direktur Eksekutif Core Indonesia ini mengharapkan pelebaran defisit itu diarahkan optimal salah satunya dalam penanganan pandemi COVID-19.

Namun, dalam RAPBN 2021, anggaran kesehatan menurun dari Rp212,5 triliun sesuai Perpres 72 Tahun 2020 menjadi Rp169,5 triliun, meski secara persentase nominal itu mencapai 6,2 persen dari RAPBN atau melebihi dari amanat undang-undang sebesar lima persen.

Selain itu, dalam RAPBN 2021, pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp365,5 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) atau turun dari 2020 mencapai Rp695,2 triliun.

Alokasi anggaran PEN 2021 itu, salah satunya diarahkan untuk kesehatan termasuk penanganan pandemi COVID-19 mencapai Rp25,4 triliun atau turun dari alokasi 2020 mencapai Rp87,5 triliun.

Terkait penurunan anggaran itu, Faisal mendorong pemerintah mempertimbangkan kembali karena diperkirakan kebutuhan penanganan pandemi pada 2021 masih besar.

"Dari Rp87 triliun ke Rp25 triliun itu memang salah satu yang perlu dipertimbangkan pemerintah, semestinya tidak serendah itu. Yang dilakukan bukan mengurangi tapi justru lebih mengatasi bottle neck (hambatan) eksekusi anggaran karena kebutuhan besar," katanya.

Ia mendorong penyederhanaan birokrasi dan administrasi agar penyerapan anggaran dapat maksimal.

Sebelumnya Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo melalui akun twitter @prastow mengatakan alokasi anggaran stimulus untuk kesehatan menurun dari Rp87,5 triliun menjadi Rp25,4 triliun karena sudah tersedia banyak sarana dan prasarana yang tetap dapat digunakan pada 2021.

Baca juga: Stafsus Menkeu tanggapi kritik soal anggaran COVID-19 pada 2021

Terkait dengan itu, Faisal memperkirakan ada sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) karena dari sisi penyerapan belum optimal.

"Tapi kalau ada prasarana yang masih bisa dipakai 2021, saya rasa apakah kemudian penurunannya setajam itu? Hampir seperempatnya, saya pikir mungkin bisa turun dari tahun ini tapi tidak sebesar itu," katanya.

Baca juga: Menko Airlangga: Pemerintah punya dana cukup untuk fasilitas kesehatan