Jakarta (ANTARA News) - Pakar nuklir dan aktivis peduli lingkungan, berkesimpulan bahwa Indonesia belum bisa menciptakan teknologi yang mendukung pembangunan PLTN.

"Semua alat, seperti reaktor, pipa, dan yang berhubungan dengan mesin PLTN masih diimpor dari luar negeri, bukan milik kita sendiri. Indonesia belum bisa menciptakan teknologi yang mendukung pembangunan PLTN," kata Pakar Nuklir, Iwan Kurniawan.Nuklir Nasional (BATAN). dalam diskusi "Mari Bicara PLTN" di Jakarta, Kamis.

Ia heran mengapa Indonesia yang belum bisa menciptakan teknologi pendukung PLTN itu berani memprogramkan PLTN. "Pemerintah saat ini hanya menunggu reaktor yang aman dari negara lain," tambah Iwan Kurniawan, mantan peneliti di BATAN ini.

Sementara itu aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Ari Akbar, menjelaskan, bahwa reaktor yang baru-baru ini diakui Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) akan digunakan untuk PLTN itu ternyata diimpor dari Korea.

Anehnya menurut dia, Korea sendiri belum memproduksinya dalam bentuk barang, dan masih dalam bentuk gambar. "Tidak ada yang bisa menjamin bahwa reaktor yang disebut sebagai Small Nuclear itu aman untuk digunakan," tegas Ari.

Lebih lanjut Iwan mengungkapkan, tambang uranium sebagai sumber utama PLTN yang dimiliki Indonesia hanya mempunyai ketebalan 1,5 meter dari permukaan tanah seperti di Kalimantan Barat dan di Sumatera.

"Uranium yang kita miliki itu paling tidak dapat dikelola selama 25 tahun saja, dan selebihnya kita harus mengimpor," ujar Iwan Kurniawan, yang juga dosen di Institut Bisnis Indonesia ini.

Iwan menegaskan, faktor keamanan harusnya menjadi pertimbangan utama dalam membangun PLTN. Indonesia yang merupakan daerah rawan gempa karena berada di empat lempengan tektonik.

"Harus dipertimbangkan PLTN juga dapat menyebabkan bahaya radioaktif jika pipa PLTN mengalami kebocoran atau meledak. Bahaya radioaktif dapat membuat muntah, pusing, rambut rontok, dan gigi tanggal," jelas Iwan Kurniawan.

Belum lagi masalah pengolahan limbah yang menurut Iwan, membutuhkan biaya yang diperkirakan lebih besar ketimbang biaya pembangunan PLTN itu sendiri.

"Selama ini belum ada cara yang aman untuk mengelola limbah PLTN. Rusia saja sekarang sedang kesusahan menutup Chernobyl, PLTN yang bocor itu, " jelas Iwan Kurniawan.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia, Arif Fiyanto mengatakan. Indonesia belum memerlukan PLTN karena masih banyak sumber energi lain yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.

"Kalau pemerintah mengklaim, sumber energi kita dalam keadaan krisis, ini karena sumber energi itu kebanyakan diekspor, bukan diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat," ujarnya. Greenpeace mencatat bahwa Indonesia saat ini hanya memanfaatkan kurang dari 5 persen dari potensi energi yang terbarukan.

Aktivis dari Masyarakat Antinuklir Indonesia (MANUSIA), Dian Abraham juga meyakini bahwa klaim pemerintah itu salah, terlebih lagi soal pernyataan bahwa pembangunan PLTN ini murah.

"Data pemerintah saat ini yang menyatakan biaya per reaktor PLTN berkapasitas 1.000 MW adalah 1,5-2 miliar US Dollar. Padahal data riil kontrak PLTN Korea Selatan dengan Uni Emirat Arab baru-baru ini menyebutkan, biaya per reaktor adalah 3,5 miliar US Dollar. Jadi rencana pembangunan empat reaktor bisa mencapai sedikitnya 6 miliar US Dollar atau senilai Rp55 triliun," tutur Dian Abraham.

Dalam diskusi itu hadir perwakilan dari Desa Balong, Arif dan Aris Susanto yang menolak pembangunan PLTN di desa yang terletak di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.(M-FAI/A038)