Epidemiolog sebut tiga faktor penentu tekan laju penularan COVID-19
17 September 2020 22:43 WIB
Ilustrasi - Dua orang tenaga kesehatan memeriksa mobil ambulans yang akan masuk ke Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog klinis Tifauzia Tyassuma menyebutkan ada tiga faktor penentu di negara-negara yang berhasil menekan laju penularan COVID-19 hingga grafik kasus positif di negara tersebut menurun, salah satunya soal kebijakan pemerintah yang bersifat menyeluruh.
Tifauzia dalam keterangannya pada diskusi daring Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) bertajuk 'Laju Pandemi Tak Terkendali, Langkah Apa Yang Harus Diperbaiki?' di Jakarta, Kamis, menyebutkan tiga faktor tersebut adalah kebijakan yang sifatnya menyeluruh, kepemimpinan kepala negara yang kuat dan memberikan contoh, serta respon tanggung jawab sosial masyarakat.
Tifauzia menerangkan tiga komponen penting tersebut tidak dimiliki oleh Indonesia sehingga menyebabkan lonjakan kasus positif COVID-19 yang tak berkesudahan. Dia menjabarkan satu per satu tiga faktor penting itu yang tidak terjadi di Indonesia.
"Kita dari sisi kebijakan tidak ada yang menyeluruh. Kebijakan selalu kontradiktif dan kontraproduktif," kata dia. Tifauzia menjelaskan kebijakan yang kontradiktif tersebut seperti kebijakan PSBB yang dilakukan di DKI Jakarta tapi tidak dilakukan oleh daerah penyangga Ibu Kota.
Baca juga: Epidemiolog: Kembalikan penanganan COVID-19 pada Kemenkes
Baca juga: Satgas: Publik harus tahu pejabat negara yang positif COVID-19
Selain itu, Tifauzia menyoroti banyaknya pemeriksaan tes COVID-19 yang telah dilakukan oleh pemerintah setiap harinya, misalnya DKI Jakarta yang sudah melampaui empat kali standar WHO, namun tidak diikuti oleh penyiapan ruang isolasi bagi pasien positif COVID-19.
Menurutnya, isolasi mandiri di rumah dengan kondisi mayoritas rumah penduduk Indonesia tidak memiliki cukup ruangan hanya akan menimbulkan klaster baru di keluarga.
Selain itu dia juga menjelaskan mengenai kepemimpinan yang kuat dan memberi contoh, baik dari kepala negara hingga kepala daerah tidak menunjukkan sikap tegas dan memberikan contoh yang baik untuk masyarakatnya.
Baca juga: Epidemiolog UI: PSBB harus dipertahankan
Baca juga: Satgas catat 4 kota besar punya kematian karena COVID-19 tertinggi
Sedangkan pada komponen respon tanggung jawab sosial, menurut Tifauzia selama enam bulan masa pandemi di Indonesia tidak ada yang cukup menggerakkan masyarakat Indonesia untuk mengambil tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan masalah krisis kesehatan ini.
Dia menyebut masyarakat hingga saat ini hanya dijadikan sebagai objek dari sebuah regulasi, yaitu untuk menindak dengan hukuman apabila ada yang melanggar protokol kesehatan. Seharusnya, kata dia, masyarakat diajak dengan diberikan peran sebagai subjek, bukan objek, yang secara bersama-sama bergotong royong dalam menangani krisis kesehatan bersama pemerintah.
"Kami sebagai rakyat, menjalankan apa yang kami bisa dengan menggalang gerakan rakyat semesta dengan menggandeng 500 lebih komunitas yang totalnya sekitar 200 ribu orang yang dibekali dengan pengetahuan. Mereka akan bekerja memberikan pemahaman kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19 secara bersama-sama," kata Tifauzia.
Baca juga: Epidemiolog: Tiga indikator dasar sebelum terapkan normal baru
Baca juga: 11 kabupaten/kota miliki 1.000 lebih kasus aktif COVID-19
Tifauzia dalam keterangannya pada diskusi daring Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) bertajuk 'Laju Pandemi Tak Terkendali, Langkah Apa Yang Harus Diperbaiki?' di Jakarta, Kamis, menyebutkan tiga faktor tersebut adalah kebijakan yang sifatnya menyeluruh, kepemimpinan kepala negara yang kuat dan memberikan contoh, serta respon tanggung jawab sosial masyarakat.
Tifauzia menerangkan tiga komponen penting tersebut tidak dimiliki oleh Indonesia sehingga menyebabkan lonjakan kasus positif COVID-19 yang tak berkesudahan. Dia menjabarkan satu per satu tiga faktor penting itu yang tidak terjadi di Indonesia.
"Kita dari sisi kebijakan tidak ada yang menyeluruh. Kebijakan selalu kontradiktif dan kontraproduktif," kata dia. Tifauzia menjelaskan kebijakan yang kontradiktif tersebut seperti kebijakan PSBB yang dilakukan di DKI Jakarta tapi tidak dilakukan oleh daerah penyangga Ibu Kota.
Baca juga: Epidemiolog: Kembalikan penanganan COVID-19 pada Kemenkes
Baca juga: Satgas: Publik harus tahu pejabat negara yang positif COVID-19
Selain itu, Tifauzia menyoroti banyaknya pemeriksaan tes COVID-19 yang telah dilakukan oleh pemerintah setiap harinya, misalnya DKI Jakarta yang sudah melampaui empat kali standar WHO, namun tidak diikuti oleh penyiapan ruang isolasi bagi pasien positif COVID-19.
Menurutnya, isolasi mandiri di rumah dengan kondisi mayoritas rumah penduduk Indonesia tidak memiliki cukup ruangan hanya akan menimbulkan klaster baru di keluarga.
Selain itu dia juga menjelaskan mengenai kepemimpinan yang kuat dan memberi contoh, baik dari kepala negara hingga kepala daerah tidak menunjukkan sikap tegas dan memberikan contoh yang baik untuk masyarakatnya.
Baca juga: Epidemiolog UI: PSBB harus dipertahankan
Baca juga: Satgas catat 4 kota besar punya kematian karena COVID-19 tertinggi
Sedangkan pada komponen respon tanggung jawab sosial, menurut Tifauzia selama enam bulan masa pandemi di Indonesia tidak ada yang cukup menggerakkan masyarakat Indonesia untuk mengambil tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan masalah krisis kesehatan ini.
Dia menyebut masyarakat hingga saat ini hanya dijadikan sebagai objek dari sebuah regulasi, yaitu untuk menindak dengan hukuman apabila ada yang melanggar protokol kesehatan. Seharusnya, kata dia, masyarakat diajak dengan diberikan peran sebagai subjek, bukan objek, yang secara bersama-sama bergotong royong dalam menangani krisis kesehatan bersama pemerintah.
"Kami sebagai rakyat, menjalankan apa yang kami bisa dengan menggalang gerakan rakyat semesta dengan menggandeng 500 lebih komunitas yang totalnya sekitar 200 ribu orang yang dibekali dengan pengetahuan. Mereka akan bekerja memberikan pemahaman kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19 secara bersama-sama," kata Tifauzia.
Baca juga: Epidemiolog: Tiga indikator dasar sebelum terapkan normal baru
Baca juga: 11 kabupaten/kota miliki 1.000 lebih kasus aktif COVID-19
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020
Tags: