Bandung (ANTARA News) - Kota-kota di Indonesia belum memenuhi kriteria kepedulian dan keberpihakan kepada anak-anak sehingga belum ada satupun masuk daftar "kota layak anak" yang dirilis badan dunia yang menangani anak-anak, UNICEF.

"Sebagian besar kota belum mencapai kota layak anak (KLA) yang ideal, namun sebanyak 15 kota saat ini menjadi target untuk menjadi KLA, diharapkan semangatnya diikuti kota-kota lainnya di Indonesia," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ny Linda Amalia Sari Gumelar di Bandung, Senin.

Ia menyebutkan, saat ini baru terdapat 900 kota di dunia yang masuk kategori KLA. Beberapa kota yang menjadi target KLA antara lain Sragen, Sidoarjo, Solo, Gorontalo dan beberapa kota lainnya.

KLA menurut UNICEF Innocenti Research Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota.

Sebagai warga kota berarti anak keputusannya mempengaruhi kotanya, mengekpresikan pendapat mereka tentang kota, dapat berperan dalam kehidupan keluarga, komuniti dan sosial.

Kemudian menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, air minum sehat dan akses terhadap sanitasi yang baik, terlindungi dari eksploitasi, kekejaman dan perakuan salah.

Aman berjalan-jalan di jalan, bertemu dan bermain dengan temannya, mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan, hidup bebas polusi, berperan dalam kegiatan budaya dan sosial, dapat mengakses setiap pelayanan tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender dan kecacatan.

"Kota-kota yang bisa menutaskan masalah anak jalanan berpotensi besar bisa meraih KLA. Di lain pihak ada keberfihakan hukum dan perlindungan kepada anak secara maksimal dari pemerintahan kotanya," kata Linda Gumelar.

Ia menyebutkan, sebagian besar kota, khususnya kota-kota besar bermasalah dengan perlindungan dan perlakuan terhadap anak-anak. Fenomena anak jalanan menjadi salah satu hal serius sebagai dampak kemiskinan.

Cukup banyak kota di Indonesia yang berhasil menangani masalah perlindungan anak termasuk pengentasan anak jalanan, mereka memiliki keberpihakan terhadap hak-hak anak seperti di Bali, Sumatera dan beberapa kota di Sulawesi Selatan.

"Kami melakukan advokasi kepada gubernur, bupati walikota bahwa anak-anak adalah investasi massa depan yang perlu dipersiapkan dengan mengembangkan kebijakan untuk anak dan melalui wilayah bagi anak," katanya.

Hal itu merupakan penjabaran dari "World Fit For Children:WFFC" yang diluncurkan 2002.

"Jika upaya ini berhasil, semua anak akan dapat ditangani dengan baik secara holistik dan terinteregratif," kata Linda Amalia Gumelar menambahkan.

Gagasan Rumah Layak Anak diawali dengan penelitian mengenai "Childrens Perception of the Environment" oleh Kevin Lynch di empat kota yakni Melbourne, Warsawa, Salta dan Mexico City tahun 1971-1975.

Hasil penelitian itu menunjukkan lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas dan memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.

Penelitian itu termasuk dilakukan dalam rangka program "Growing Up in Cities :GUIC," tumbuh kembang di perkotaan, yang disponsori UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak sebagai basis program peran serta, bagi perbaikan kota. (S033/A038)