Pelaku usaha sosial kreatif butuh platform untuk tarik investor
16 September 2020 20:34 WIB
Direktur Akses Pembiayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Hanifah Makarim (bawah) dan Pelaku usaha asal Yogyarakarta di bawah label Lawe, Adinindyah dalam acara virtual yang digelar pihak British Council, Rabu (16/9/2020). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)
Jakarta (ANTARA) - Pelaku usaha sosial kreatif (creative and social enterprises atau CSE) Indonesia membutuhkan asupan informasi yang memadai hingga platform digital guna memudahkan mereka bertemu dan menarik investor untuk menanamkan modalnya di sektor ini.
Direktur Akses Pembiayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Hanifah Makarim, mengungkapkan bahwa selama ini sudah banyak investor yang berminat berinvestasi di sektor sosial kreatif Indonesia, namun terbentur keterbatasan akses dari pelaku usaha ke investor maupun sebaliknya.
"Mereka tidak tahu bagaimana dan di mana menemukan investor tersebut. Kita harus lebih meningkatkan informasi kepada usaha sosial kreatif atau membuat platform untuk bisa mencocokkan mereka sehingga pelaku usaha tahu bagaimana mendapatkan pendanaan dan investor juga bisa memiliki satu wadah untuk menemukan calon partner mereka," ujar Hanifah dalam peluncuran laporan "Lanskap Usaha Sosial-Kreatif di Indonesia" via daring, Rabu.
Baca juga: Kemenparekraf ajak usaha kreatif lewat #BeliKreatifLokal
Hal ini menjawab temuan penelitian dari British Council, AVPN (Asian Venture Philanthropy Network) dan Badan PBB untuk Bidang Ekonomi dan Sosial di Asia Pasifik (UN – ESCAP) terhadap 1388 usaha di Indonesia pada tahun 2019.
Mereka menemukan, meski usaha sosial-kreatif mengalami pertumbuhan pesat dalam lima tahun terakhir, namun sebagian besar CSE di Indonesia belum pernah memperoleh pendanaan eksternal.
Sebanyak 45 persen usaha sosial kreatif di Indonesia menggunakan sumber keuangan pribadi untuk mendanai usahanya dan kurang dari 1 persen pernah mengakses investasi ekuitas.
Selain karena akses yang terbatas ke investor, para pelaku usaha juga kesulitan untuk memenuhi persyaratan agunan dan menyediakan penjamin.
Sementara itu, pihak British Council, AVPN, dan UN ESCAP menyarankan, perlu adanya kesamaan antara investor dan CSE untuk mengelola ekspektasi penyandang dana agar saluran pendanaan terbuka.
Baca juga: Bekraf: RUU Ekonomi Kreatif fleksibel untuk pelaku usaha
Di sisi lain, perlu ada upaya juga untuk memetakan secara lebih akurat sumber-sumber daya yang relevan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Selain itu, dibutuhkan kerangka kebijakan yang memberikan insentif bagi usaha-usaha yang memiliki nilai sosial, misalnya melalui pengurangan pajak atau subsidi jaminan sosial, dan dukungan untuk mendorong program yang menyalurkan investasi ke CSE yang berpotensi menghasilkan imbal balik keuangan, sosial dan lingkungan.
Sementara itu, pelaku usaha asal Yogyakarta yang berfokus pada pelestarian kain tenun di bawah label Lawe, Adinindyah, berpendapat, peluang mendapatkan pendanaan dari investor salah satunya bisa melalui penyediaan produk usaha yang cocok dengan kebutuhan investor.
"Seperti menemukan teknologi yang bisa membangun bahan baku yang dianggap lebih aman, misalnya teknologi membuat kulit alami dari organisme mikroskopis dan juga memperoleh dampak besar," kata dia.
Kemudian, para pelaku usaha juga perlu melatih diri memanfaatkan dana usaha yang sudah didapatkan untuk meningkatkan citra usaha mereka.
Saat ini, mereka bisa memanfaatkan berbagai program coaching yang tersedia misalnya dari pihak universitas, pemerintah, atau lembaga tertentu.
Hal semacam ini juga dilakukan Adinindyah. Dia mengatakan, bekerjasama dengan lembaga yang mempunyai program pelatihan bisa mendukung pertumbuhan bisnis skala kecil.
"Organisasi layanan bisnis yakni untuk sisi coaching dan mentoring, lalu bisnis penting memperoleh mentoring dan coaching. Lawe merupakan anggota dua BSO (Business Support Organization) yang keduanya mendukung pertumbuhan bisnis skala kecil. Kami berbagai pengetahuan dan pelatihan secara berkala," kata dia.
Dari pelatihan, pelaku usaha bisa mendapatkan beragam hal sesuai kebutuhan bisnis mereka, mulai dari hal kecil semisal cara memotret produk mereka, berpromosi di media sosial.
Lalu, belajar memisahkan uang dari hasil keuntungan ke uang pribadi, menemukan pasar kreatif hingga menetapkan strategi bisnis mereka.
Baca juga: Bekraf lakukan pendataan pelaku ekonomi kreatif
Profil usaha sosial kreatif Indonesia
Menurut penelitian dari British Council, AVPN dan Badan PBB untuk Bidang Ekonomi dan Sosial di Asia PAsifik (UN – ESCAP), sebanyak 22 persen usaha sosial di Indonesia merupakan jenis usaha kreatif seperti busana, fotografi, wisata, dan lainnya.
Kemudian, dari sisi tingkat partisipasi, kalangan perempuan dan anak muda lebih banyak di bidang ini dibandingkan jenis usaha lainnya.Jumlah rata-rata pekerja perempuan yang bekerja di sektor usaha sosial kreatif yakni 3,8 persen. Angka ini lebih tinggi dari jumlah rata-rata pekerja perempuan di semua sektor usaha, yakni 0.6 persen.
Sementara jumlah rata-rata anak muda berusia di bawah 35 tahun yang dipekerjakan di CSE adalah 3.9 persen, sedangkan di sektor usaha lain hanya 0,7 persen.
Temuan penelitian juga memperlihatkan, ada potensi pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan usaha sosial kreatif dengan menciptakan lapangan kerja bagi perempuan, anak muda dan penyandang disabilitas untuk turut berpartisipasi aktif dan berkontribusi pada pembangunan.
“Usaha sosial kreatif dibentuk untuk tujuan yang tidak semata-mata menghasilkan pendapatan saja, tetapi lebih penting lagi untuk mengatasi kesenjangan dan kurangnya kesempatan ekonomi bagi anak muda, perempuan, dan penyandang disabilitas," ujar Country Director British Council Indonesia, Hugh Moffatt.
Dia mengatakan, dalam kerangka program Developing Inclusive and Creative Economies (DICE), penelitian ini bisa berkontribusi dan menyebarkan gagasan untuk memperkuat sektor usaha sosial-kreatif serta bertukar pengetahuan dan pengalaman negara Inggris-Indonesia untuk kesejahteraan bersama.
Baca juga: Kemenparekraf usulkan pekerja seni dan kreatif terima bantuan
Baca juga: Milenial Kediri suka pariwisata dan kuliner isi platform media sosial
Baca juga: Menkominfo dorong anak muda buat konten kreatif di medsos
Direktur Akses Pembiayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Hanifah Makarim, mengungkapkan bahwa selama ini sudah banyak investor yang berminat berinvestasi di sektor sosial kreatif Indonesia, namun terbentur keterbatasan akses dari pelaku usaha ke investor maupun sebaliknya.
"Mereka tidak tahu bagaimana dan di mana menemukan investor tersebut. Kita harus lebih meningkatkan informasi kepada usaha sosial kreatif atau membuat platform untuk bisa mencocokkan mereka sehingga pelaku usaha tahu bagaimana mendapatkan pendanaan dan investor juga bisa memiliki satu wadah untuk menemukan calon partner mereka," ujar Hanifah dalam peluncuran laporan "Lanskap Usaha Sosial-Kreatif di Indonesia" via daring, Rabu.
Baca juga: Kemenparekraf ajak usaha kreatif lewat #BeliKreatifLokal
Hal ini menjawab temuan penelitian dari British Council, AVPN (Asian Venture Philanthropy Network) dan Badan PBB untuk Bidang Ekonomi dan Sosial di Asia Pasifik (UN – ESCAP) terhadap 1388 usaha di Indonesia pada tahun 2019.
Mereka menemukan, meski usaha sosial-kreatif mengalami pertumbuhan pesat dalam lima tahun terakhir, namun sebagian besar CSE di Indonesia belum pernah memperoleh pendanaan eksternal.
Sebanyak 45 persen usaha sosial kreatif di Indonesia menggunakan sumber keuangan pribadi untuk mendanai usahanya dan kurang dari 1 persen pernah mengakses investasi ekuitas.
Selain karena akses yang terbatas ke investor, para pelaku usaha juga kesulitan untuk memenuhi persyaratan agunan dan menyediakan penjamin.
Sementara itu, pihak British Council, AVPN, dan UN ESCAP menyarankan, perlu adanya kesamaan antara investor dan CSE untuk mengelola ekspektasi penyandang dana agar saluran pendanaan terbuka.
Baca juga: Bekraf: RUU Ekonomi Kreatif fleksibel untuk pelaku usaha
Di sisi lain, perlu ada upaya juga untuk memetakan secara lebih akurat sumber-sumber daya yang relevan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Selain itu, dibutuhkan kerangka kebijakan yang memberikan insentif bagi usaha-usaha yang memiliki nilai sosial, misalnya melalui pengurangan pajak atau subsidi jaminan sosial, dan dukungan untuk mendorong program yang menyalurkan investasi ke CSE yang berpotensi menghasilkan imbal balik keuangan, sosial dan lingkungan.
Sementara itu, pelaku usaha asal Yogyakarta yang berfokus pada pelestarian kain tenun di bawah label Lawe, Adinindyah, berpendapat, peluang mendapatkan pendanaan dari investor salah satunya bisa melalui penyediaan produk usaha yang cocok dengan kebutuhan investor.
"Seperti menemukan teknologi yang bisa membangun bahan baku yang dianggap lebih aman, misalnya teknologi membuat kulit alami dari organisme mikroskopis dan juga memperoleh dampak besar," kata dia.
Kemudian, para pelaku usaha juga perlu melatih diri memanfaatkan dana usaha yang sudah didapatkan untuk meningkatkan citra usaha mereka.
Saat ini, mereka bisa memanfaatkan berbagai program coaching yang tersedia misalnya dari pihak universitas, pemerintah, atau lembaga tertentu.
Hal semacam ini juga dilakukan Adinindyah. Dia mengatakan, bekerjasama dengan lembaga yang mempunyai program pelatihan bisa mendukung pertumbuhan bisnis skala kecil.
"Organisasi layanan bisnis yakni untuk sisi coaching dan mentoring, lalu bisnis penting memperoleh mentoring dan coaching. Lawe merupakan anggota dua BSO (Business Support Organization) yang keduanya mendukung pertumbuhan bisnis skala kecil. Kami berbagai pengetahuan dan pelatihan secara berkala," kata dia.
Dari pelatihan, pelaku usaha bisa mendapatkan beragam hal sesuai kebutuhan bisnis mereka, mulai dari hal kecil semisal cara memotret produk mereka, berpromosi di media sosial.
Lalu, belajar memisahkan uang dari hasil keuntungan ke uang pribadi, menemukan pasar kreatif hingga menetapkan strategi bisnis mereka.
Baca juga: Bekraf lakukan pendataan pelaku ekonomi kreatif
Profil usaha sosial kreatif Indonesia
Menurut penelitian dari British Council, AVPN dan Badan PBB untuk Bidang Ekonomi dan Sosial di Asia PAsifik (UN – ESCAP), sebanyak 22 persen usaha sosial di Indonesia merupakan jenis usaha kreatif seperti busana, fotografi, wisata, dan lainnya.
Kemudian, dari sisi tingkat partisipasi, kalangan perempuan dan anak muda lebih banyak di bidang ini dibandingkan jenis usaha lainnya.Jumlah rata-rata pekerja perempuan yang bekerja di sektor usaha sosial kreatif yakni 3,8 persen. Angka ini lebih tinggi dari jumlah rata-rata pekerja perempuan di semua sektor usaha, yakni 0.6 persen.
Sementara jumlah rata-rata anak muda berusia di bawah 35 tahun yang dipekerjakan di CSE adalah 3.9 persen, sedangkan di sektor usaha lain hanya 0,7 persen.
Temuan penelitian juga memperlihatkan, ada potensi pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan usaha sosial kreatif dengan menciptakan lapangan kerja bagi perempuan, anak muda dan penyandang disabilitas untuk turut berpartisipasi aktif dan berkontribusi pada pembangunan.
“Usaha sosial kreatif dibentuk untuk tujuan yang tidak semata-mata menghasilkan pendapatan saja, tetapi lebih penting lagi untuk mengatasi kesenjangan dan kurangnya kesempatan ekonomi bagi anak muda, perempuan, dan penyandang disabilitas," ujar Country Director British Council Indonesia, Hugh Moffatt.
Dia mengatakan, dalam kerangka program Developing Inclusive and Creative Economies (DICE), penelitian ini bisa berkontribusi dan menyebarkan gagasan untuk memperkuat sektor usaha sosial-kreatif serta bertukar pengetahuan dan pengalaman negara Inggris-Indonesia untuk kesejahteraan bersama.
Baca juga: Kemenparekraf usulkan pekerja seni dan kreatif terima bantuan
Baca juga: Milenial Kediri suka pariwisata dan kuliner isi platform media sosial
Baca juga: Menkominfo dorong anak muda buat konten kreatif di medsos
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: