Jakarta (ANTARA News) - Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, 22 hingga 27 Maret mendatang, akan membahas berbagai persoalan yang menarik perhatian masyarakat dikaitkan dengan hukum agama, antara lain menyangkut penyadapan dan khitan bagi perempuan.

Namun, pembahasan dalam muktamar nanti lebih bersifat pematangan karena berbagai persoalan tersebut telah dibahas terlebih dulu dalam forum bahtsul masail pramuktamar di Pesantren Babakan Cirebon, Jabar, akhir Januari lalu.

"Hasil pembahasan ini telah final sebagai draf, namun baru semi final untuk muktamar," kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU HM Cholil Nafis di Jakarta, Jumat.

Persoalan penyadapan menjadi hangat ketika pemerintah bermaksud mengatur tata cara penyadapan melalui peraturan pemerintah yang saat ini masih berbentuk rancangan yang mengundang pro-kontra.

Pihak yang pro menilai pengaturan penyadapan perlu guna menghindari praktik main sadap untuk kepentingan sempit, sementara pihak yang kontra mencurigai aturan itu akan menghambat pemberantasan korupsi.

NU memandang perlu membahas masalah ini karena penyadapan merupakan praktik menguping atau mencuri dengar pembicaraan orang lain.

Dalam draf materi bahtsul masail muktamar disebutkan, hukum asal penyadapan atau mencuri dengar pembicaraan orang lain adalah tidak boleh atau haram.

Namun, demi penegakan hukum, penyadapan diperbolehkan sepanjang ada dugaan kuat terjadinya pelanggaran hukum oleh pihak yang hendak disadap. Bahkan, menurut syariat Islam hasil penyadapan itu sah sebagai alat bukti dalam persidangan.

Sementara menyangkut khitan bagi perempuan, bahtsul masail pramuktamar menyepakati dua hukum, yakni wajib dan sunah.

Pengusung perkara itu, Fatayat NU, sebelumnya mengajukan pendapat hukum khitan bagi perempuan diperbolehkan sepanjang dinilai bermanfaat dan dilakukan dengan aman dan sebaliknya haram jika membahayakan atau dilakukan dengan tidak aman.

Fatayat NU juga menilai khitan bagi perempuan hanya merupakan tradisi, bukan perintah agama.

(S024/S026)