Solo (ANTARA News) - Pengaruh budaya China pada kehidupan di bumi Nusantara telah dirasakan sejak abad ke-13 dan semakin berkembang hingga orang-orang China mulai membuat batik pada awal abad ke-19.
Pengaruh China pada jaman tersebut mempengaruhi corak dan ragam motif batik yang melahirkan perpaduan karya seni batik oriental dan Nusantara yang sangat indah.
Akulturasi budaya sejak ratusan tahun lalu dan terus berkembang sampai saat ini, makin terasa seiring semakin dibukanya peluang masyarakat etnis Tionghoa untuk mengekpresikan budayanya.
Orang-orang China yang saat itu mendirikan pemukiman-pemukiman, terutama di badar-bandar penting di Pulau Jawa, seperti Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem dan Tuban, berbaur dengan penduduk asli.
Mereka bahkan ada yang pelakukan perkawinan budaya, dan melahirkan keturunan yang disebut "peranakan".
Uniknya, etnis China di Nusantara tetap membawa serta adat-istiadat, agama dan budaya tanah leluhur mereka dengan diselaraskan dengan budaya setempat.
Banyak etnis China yang akhirnya berpakaian dengan mengikuti cara berpakaian penduduk setempat. Para wanitanya mengenekan sarung batik, sedangkan prianya memakai celama dari bahan batik.
Hal inilah yang menyebabkan munculnya kreasi batik-batik dengan ragam hias yang berasal dari budaya China.
Batik China adalah jenis batik yang dibuat oleh orang-orang China atau peranakan yang pada mulanya menampilkan pola-pola dengan ragan hias satwa mitos China, seperti naga, siang, burung phoenix (burung hong), kura-kura, kilin (anjing berkepala singa), serta dewa dan dewi Kong Hu Chu.
Ada pula ragam hias yang berasal dari keramik China kuno, serta ragam hias berbentuk mega dengan warna merah atau merah dan biru.
"Pada 1910-an, berkembanglah batik China yang mengandug ragam hias buketan atau bunga-bunga, karena Batik China mulai dipengaruhi pola Batik Belanda yang pada saat itu sangat laku dipasaran," kata Asti Suryo, Asisten Manajer Kurator Museum Batik Danar Hadi Solo.
Perlengkapan Keagamaan
Kepandaian Orang-orang China berdagang serta keuletan dalam berusaha, akhirnya membuat mereka dapat menempatkan batik sebagai mata dagangan ekspor.
"Mereka dapat dikatakan merupakan lingkungan pertama yang mengembangkan batik sebagai kebutuhan busana dan gaya berpakaian serta pola-pola batik di lingkungan mereka, sehingga lahirlah apa yang disebut Batik China," katanya.
Selain sebagai bahan busana, sebagian besar batik yang mereka hasilkan digunakan sebagai perengkapan keagamaan, seperti kain altar (tok-wi) dan taplak meja (muk-li).
Sarung-sarung batik yang mereka hasilkan berupa batik-batik dengan pola yang bentuknya sangat mirip dengan pola tekstil ataupun hiasan pada keramik China, seperti banji yang melambangkan kebahagian, ataupun kelelawar yang melambangkan nasib baik.
Pada perkembangannya, Batik China menampakkan pola-pola yang lebih beragam, antara lain pola-pola dengan pengaruh ragam hias Batik Keraton seperti yang terlihat pada Batik Dua Negeri dan Tiga Negeri.
Daerah perkembangan Batik China meliputi daerah pesisir maupun pedalaman dengan nuansa yang dipengaruhi lingkungan. Daerah tersebut adalah Cirebon, Pekalongan, Lasem, Demak dan Kudus.
Lasem terkenal dengan selendang lokcan-nya (burung phoenix) sebagai ragam hias utamanya, sedangkan Demak dan Kudus mempunyai ciri khas dalam isen latar, antara lain "gabah sinawur", "dele kecer" dan "mrutu sewu".
Pekalongan sebagai tempat terdapatnya perusahaan-perusahaan Batik China, menghasilkan karya-karya "terbaik" seperti Oey Soe Tjoen, The Tie Siet, Oey Kok Sing dan lain-lain, mempunyai ciri khas produk yang terpengaruh budaya Belanda.
Meski demikian batik China yang dibuat mereka tetap mengandung nilai filosofis China. Hal ini sesuai dengan faham yang dianut orang China, bahwa usia menentukan apa yang dipakai.
Kini Batik China masih meninggalkan jejaknya di dunia perbatikan Indonesia dan terkenal dengan karya batik yang merupakan adikarya batik Indonesia, katanya.
Batik Printing
"Batik tetap milik bangsa Indonesia, apa yang terjadi dalam perkembangan batik itu hanya terpengaruh seni dan budayanya saja, tetapi yang membatik juga bangsa-bangsa kita sendiri," kata Diana Santosa,SE Manajer PT Danar Hadi Solo.
Jadi meskipun motif-motif batik China telah berkembang di Indonesia, di Negara China sendiri tidak ada batik tulis atau cap yang dibuat seperti di Indonesia.
"Di Cina itu adanya hanya batik printing seperti apa yang juga dibuat di Indonesia dan itu sebagian besar juga pesanan dari para pedagang Indonesia, karena di China lebih murah," kata Diana Santosa SE putri pengusaha batik terkenal di Indonesia tersebut.
Batik Danar Hadi tiga tahun lalu sebagian besar dipakai kaum pria, tetapi sekarang sudah tidak lagi. "Konsumen kaum putri saat ini mengalami kenaikan yang signifikan," katanya.
"Permintaan pakaian batik untuk kaum wanita di tempat kami mengalami knaikan 100 persen lebih, sampai kami mengalami kesulitan untuk mencari penjahit pakaian wanita, untuk memenuhi permintaan konsumen itu," katanya.
Diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Agreement(ACFTA), bagi PT Danar Hadi tidak ada masalah. ACFTA merupakan tantangan yang harus disikapi dengan baik.
"Jadi tekstil dari China yang masuk ke Indonesia bukan batik seperti kita miliki itu, tetapi itu tekstil batik. Batik seperti yang kita miliki dengan batik printing jelas itu sangat berbeda," paparnya.
Untuk menyikapi persoalan-persoalan tersebut PT Batik Danar Hadi Solo juga terus mencari terobosan-terobosan dalam memasarkan dan mempertahankan eksitensi keberadaan batik Indonesia yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia.
PT Batik Danar Hadi mulai tanggal 6-13 Februari 2010 akan menggelar Festival Batik China dan sekaligus menggelar pameran Batik Cina Kuno di Museum Batik Danar Hadi Solo untuk umum, kata Public Relation and Communication Consultan acara tersebut R.Ay Febri H.Dipokusumo.
Acara tersebut selain untuk hari kunjungan museum juga dalam rangka menyambut Imlek 2010. Pada acara ini nantinya akan diperagakan batik-batik yang bermotif budaya China. Serta akan digelar pameran Batik China Kuno koleksi PT Batik Danar Hadi.
H. Santosa Doellah pemilik PT Batik Danar Hadi memiliki koleksi batik China Kuno sebanyak 2.800, diantaranya ada yang berumur 200 tahun yang nantinya akan dipamerkan tersebut.
Lewat pameran batik ini diharapkan generasi muda mengetahui perjalanan panjang batik yang ada di Indonesia.
(J005/S026)
Budaya China Dalam Batik Indonesia
5 Februari 2010 17:45 WIB
Oleh Oleh Joko Widodo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010
Tags: