Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mihkael Raja Muda Bataona mengatakan ide penundaan Pilkada 2020 dengan alasan kenaikan tren penularan COVID-19 terlalu generalis dan menggampangkan persoalan.

"Menurut saya ide penundaan Pilkada 2020 karena tren kenaikan penularan COVID-19 adalah ide lemah dari aspek data dan fakta empirik. Ide tersebut terlalu generalis dan menggampangkan persoalan," kata Mikhael Bataona kepada ANTARA di Kupang, Senin.

Pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu mengemukakan pandangannya ini terkait gagasan untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dengan tren kenaikan angka kasus COVID-19.

Dia mengatakan urusan bernegara, apalagi menyangkut nasib banyak orang di ratusan kabupaten/kota yang harus menentukan nasib wilayahnya, bukanlah urusan yang gampang dan sederhana.

Baca juga: Pengamat: Ada "bom atom" kasus COVID jika pilkada tak ditunda

Menurut dia, setiap orang berhak bicara tapi tidak boleh terlalu emosional dan tidak didukung oleh basis argumentasi yang kuat, karena menunda pilkada adalah urusan besar dengan konsekuensi yang besar pula.

"Apabila idenya adalah demi menghentikan penyebaran COVID-19 maka bagi saya argumentasinya sangat lemah. Mengapa, karena gagasan tersebut tidak terkonstruksi secara kuat, dengan basis penelitian empirik," katanya.

Dia mempertanyakan apakah sudah ada bukti bahwa Pilkada 2020 ini terbukti menjadi pusat penyebaran COVID-19.

"Proses politik dengan melibatkan sekian banyak pihak dengan menelan biaya yang tidak kecil, tidak boleh disederhanakan seperti kita menunda sebuah pesta pernikahan di kampung," katanya.

Baca juga: Komnas HAM usul tahapan pilkada serentak ditunda

Ketaatan masyarakat
Dia menambahkan masalah utamanya adalah soal ketaatan masyarakat pada protokol kesehatan, dan bukan pada pilkadanya, karena tanpa pilkada pun kasus COVID melonjak.

"Yah itu karena masalah ketaatan warga pada protokol kesehatan, juga ketegasan pemerintah dan aparat keamanan dalam menegakan aturan di lapangan," katanya.

Artinya, tanpa Pilkada pun COVID-19 akan tetap ada dan bisa menyebar ketika warga tidak patuh pada protokol kesehatan. Bukan menunggu saat hari kampanye dan pencoblosan pilkada.

"Jadi terbukti ide menunda Pilkada gara-gara COVID-19 melonjak bukanlah argumentasi yang kuat. Itu sebuah argumentasi yang lemah," tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.

Karena itu, bangsa ini harus belajar untuk tertib dalam menalar dan menganalisis setiap soal besar yang berkaitan dengan kepentingan umum.

"Kita tidak boleh terbiasa berbicara sekedar logis saja tanpa basis teori dan data empirik yang kuat. Sesuatu yang logis itu kan tidak selamanya benar. Banyak hal logis yang justru salah," katanya.

Baca juga: Anggota Bawaslu sebut penundaan Pilkada 2020 akan timbulkan masalah