Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional LSM Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan meminta pemerintah lebih responsif dalam menangani berbagai pengaduan yang terkait dengan kondisi anak buah kapal (ABK) WNI yang bekerja di luar negeri.

"Agar instansi pemerintah lebih responsif terhadap laporan yang disampaikan Fisher Center," kata Moh Abdi Suhufan dalam rilis di Jakarta, Senin.

Ia memaparkan Fisher Center merupakan bagian dari mekanisme proteksi berbasis masyarakat yang memberikan informasi, edukasi, dan menerima pelaporan atau keluhan terkait para awak kapal perikanan (AKP).

Fisher Center yang merupakan hasil dari Proyek SAFE Seas telah beroperasi di Kota Tegal, Jawa Tengah, dan Kota Bitung, Sulawesi Utara, dan telah diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan, 7 Juli 2020.

"Fisher Center menjadi semacam lembaga alternatif pengaduan awak kapal perikanan yang bermasalah sebab saluran pengaduan ke pemerintah cukup banyak dengan layanan yang berbeda-beda," katanya.

Menurut Abdi, Fisher Center membantu korban dan pemerintah agar laporan yang disampaikan sudah terstandarisasi sehingga memudahkan tindaklanjut penyelesaian kasus.

Data pengaduan dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terkait pengaduan awak kapal selama tahun 2018 sampai Mei 2020 menyatakan bahwa ada lima jenis pengaduan terbesar dari 398 aduan.

Di antara jumlah tersebut, ada 164 kasus terkait gaji yang tidak dibayar, 47 kasus ABK meninggal dunia di negara tujuan, 46 kasus terkait kecelakaan, 23 kasus terkait ABK ingin dipulangkan dan 18 kasus terkait penahanan paspor atau dokumen lainnya oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI).

Ditegaskan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Prof. Benny Riyanto bahwa bantuan hukum dapat diberikan secara cuma-cuma bagi AKP yang tergolong kelompok masyarakat kurang mampu. BPHN juga memiliki aplikasi konsultasi hukum secara daring dan gratis bagi seluruh masyarakat.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius PS Wibowo menilai penting penataan ulang peraturan serta perizinan guna melindungi awak kapal perikanan.

Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman, Basilio Araujo mengatakan bahwa harmonisasi peraturan menjadi penting dengan mengacu kepada Peraturan internasional dan menginternalisasikannya ke dalam peraturan nasional guna mendorong kepastian perlindungan AKP perikanan tangkap yang berkeadilan.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan bahwa anak buah kapal (ABK) yang akan bekerja di luar negeri perlu memiliki sertifikat lengkap sesuai aturan yang berlaku agar meminimalkan potensi terjadinya kasus mengenaskan ABK WNI.

"Mereka (ABK Indonesia) yang diizinkan bekerja di luar negeri perlu dipastikan sertifikasinya lengkap," kata Menteri Edhy dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, Kamis (27/8).