Jakarta (ANTARA News) - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan produksi industri pengolahan besar dan sedang 2009 hanya tumbuh sebesar 1,33 persen atau terus menyusut dibandingkan 2008 dan 2007.

Pada 2007, pertumbuhan industri mampu mencapai 5,57 persen, kemudian menyusut menjadi 3,01 persen pada 2008, dan 2009 tinggal 1,33 persen.

Menurut Kepala BPS, Rusman Heriawan di Jakarta, Senin, pertumbuhan industri pada 2009 yang masih positif tersebut tampaknya didukung oleh adanya pengalihan pasar dari para produsen dalam negeri yang semula berorientasi ekspor beralih dijual ke dalam pasar domestik.

"Industri dalam negeri naik 1,33 persen tapi ekspor produk industri turun, impilikasinya apa? Pertama karena ketidakmampuan mengekspor karena impornya lemah di luar negeri, dipaksakan bisa diserap di dalam negeri itu yang nggak terbaca. Sebenarnya itu yang terjadi, jadi tadinya orientasi ekspor, untuk mempertahankan industri dalam negeri yang naik 1,33 persen, terpaksa dijual di dalam negeri," katanya.

Hal ini menurut dia, merujuk pada catatan BPS terhadap eskpor produk industri yang tercermin dari penurunan ekspor non migas sebesar 9,66 persen.

Rusman menambahkan pada 2009, pertumbuhan industri terutama didominasi oleh industri rokok (pengolahan tembakau) yang mampu tumbuh sebesar 25,46 persen meskipun ada kenaikan tarif cukai dari sebelumnya. Selain itu, industri pengolahan makanan dan minuman juga tumbuh 11 persen, diikuti dengan alat angkutan selain mobil yang meningkat 4,09 persen.

Sementara industri yang mengalami koreksi pada 2009, di antaranya pakaian jadi yang tumbuh minus 8,12 persen, barang-barang logam kecuali mesin dan peralatannya tumbuh negatif 8,12 persen dan logam dasar minus 5,75 persen.

Menurut Rusman, saat ini, dampak dari pemberlakuan perdagangan bebas dengan negara ASEAN dan China (ACFTA) belum signifikan.

Ia mengatakan, ACFTA bisa jadi akan menggerus beberapa industri seperti pakaian jadi dan produk tekstil. Namun di sisi lain, menurut dia, ACFTA juga memberikan peluang bagi perekonomian Indonesia terutama ekspor sumber daya alam.

"Memang ada ancaman terhadap tekstil, produk tekstil, besi baja dan segala macam, tetapi kita juga punya peluang, resource base (sumber daya alam), peluang inilah yang kita riset lebih detail ya, itu suka nggak suka tarif nol persen tentu peluang ekspor kita. Misalnya CPO yang ke China itu, kalau semangatnya `free trade` (perdagangan bebas) kan tarifnya nol juga di sana, sehingga peluang eskpornya jadi lebih tinggi," katanya.

Ia menambahkan, ACFTA justru akan berdampak positif terhadap inflasi, karena beberapa komoditas seperti sandang harganya akan mengalami penurunan.(M041/K004)