Jakarta (ANTARA News) - Upaya penurunan emisi yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 26 persen pada 2020 dan 41 persen pada 2040 memberikan konsekuensi besar pada anggaran negara.

Deputi III Menteri Lingkungan Hidup bidang peningkatan konservasi SDA dan pengendalian kerusakan lingkungan, Masnellyarti Hilman, di Jakarta, Senin, mengatakan tiap kementerian diharapkan melaksanakan sejumlah "tugas" dengan biaya yang tidak sedikit, kurang lebih Rp168,25 triliun.

Sektor industri misalnya, kata Nelly pada diskusi "Perubahan Iklim dan Upaya penanggulangannya di Indonesia", diusulkan mengalokasikan dana sampai Rp2,32 triliun untuk bisa menurunkan emisi sampai 41 persen pada 2020, sedangkan kehutanan Rp36,93 triliun, transportasi Rp10 triliun, dan sektor energi sampai Rp75 triliun.

Selain itu, pendanaan dari pengelolaan sampah mencapai Rp5 triliun dan penanganan lahan gambut Rp35 triliun, sedangkan untuk sektor pertanian Rp4 triliun. Semua memang sangat besar dan APBN dikhawatirkan tak akan bisa menampung semua, katanya.

"Untuk itu, kita meminta lembaga donor/asing berpartisiasi pada upaya Indonesia dan negara berkembang lainnya melakukan mitigasi ini," kata Nelly pada diskusi yang digagas Yayasan Sarana Wana Jaya. Selain itu, menurut dia, swasta juga harus ikut membantu.

Saat ini, katanya, Bappenas tengah menyusun `keharusan` swasta membantu pendanaan mitigasi iklim ini berdasarkan sektor, misalnya swasta/BUMN di sektor energi memberikan dana Rp50 triliun, swasta/BUMN kehutanan sebesar Rp30,4 triliun, swasta pada sektor industri Rp500 miliar.

Karena besarnya dana yang diperlukan, ia menjelaskan, butuh komitmen dan keseriusan para pemangku kepentingan untuk mengusung dan mewujudkan pengurangan emisi yang di Indonesia di tuangkan dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) sebagai implementasi Bali Action Plan 2 tahun lalu dan Copenhagen Accord tahun lalu.

Menurut dia, dari Copenhagen Accord sebenarnya sudah disepakati adanya ketersediaan pendanaan baru yang merupakan komitmen kolektif sebesar 30 miliar dolar AS pada periode 2010-2012 untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta 100 miliar dolar pada 2020 untuk aksi mitigasi.

"Namun ini juga mesti kita tagih dan tunggu komitmen negara maju karena semua baru bisa mengucur setelah ada kajian implementasi skema REDD, misalnya pada 2015," jelas Nelly.

Soal besarnya porsi kementerian dalam mengurangi emisi ini, Nelly mengakui Kementerian Kehutanan diberi porsi besar untuk menjalankan amanat ini.

"Masalahnya, penanaman 500 ribu hektar sebagai bagian dari pengurangan emisi dikhawatirkan tidak akan mencapai target karena degradasi yang terjadi saat ini mencapai 1,175 juta hektare tidak bisa ditutupi dengan penanaman seluas 500 ribu hektare tahun ini. Masih ada kesenjangan daya serap emisi dari pohon itu seluas 600 ribuan hektare. Apalagi jika kesuksesan tumbuh tanaman itu hanya 60 persen saja," kata dia.

Seharusnya, kata Nelly, Kementerian Kehutanan bisa menyusun dan mewujudkan mekanisme yang lebih praktis yakni bagaimana REDD yang sudah bagus itu bisa jalan sebagai kompensasi dari pengusaha/masyarakat yang sudah melakukan penanaman lewat skema pengelolaan hutan yang digagas Kementerian Kehutanan sendiri.(A027/K004)